BAB I
PENDAHULUAN
A.PENGERTIAN HAM
Istilah Hak Asasi Manusia dalam
beberapa bahasa asing dikenal dengan sebutan droit de l’home (perancis), yang
berarti hak manusia, Human Rights (Inggris) atau mensen rechten (Belanda) yang
dalam bahasa Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusian atau hak-hak asasi
manusia.
Hak asasi manusia adalah hak-hak
dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi
sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak seperti hak
untuk hidup, hak berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan merupakan
hak yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, seperti yang
tercantum pada rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan
Piagam Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Hak asasi manusia (HAM) pada
hakekatnya merupakan hak kodrati yang secara inheren melekat dalam setiap diri
manusia sejak dilahirkan. Pengertian ini mnengandung arti bahwa HAM merupakan
karunia dari yang maha kuasa kepada
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak
dapat hidup layak sebagai manusia. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki
manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya, atau
kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak Asasi bersifat umum
(universal), karena diyakini beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan atas bangsa,
ras, agama, atau jenis kelamin. Dasar dari hak asasi, bahwa manusia harus
memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Hak Asasi manusia bersifat supralegal, artinya tidak bergantung kepada adanya suatu Negara atau undang-undang
dasar, maupun kekuasaan pemerintah, bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi,
karena hak asasi manusia dimiliki manusia bukan karena kemurahan atau pemberian
pemerintah, melainkan Karena berasal dari sumber yang lebih tinggi. Disebut HAM
karena melekat pada eksistensi manusia, yang bersifat universal, merata dan
tidak dapat dialihkan.
Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memrlukan legitimasi yuridis untuk pemberlakuannya dalam suatu system hukum nasional maupun Internasional. Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional terhadap HAM , hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia. Gagasan HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang paling hakiki dalam diri manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupan manusia bersifat sekuler dan positivistic, maka eksistensi HAM memerlukan landasan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia.
Perjuangan dan perkembangan hak-hak
asasi manusia di setiap negara mempunyai
latar belakang sejarah sendiri-sendiri sesuai dengan perjalanan hidup
bangsanya, meskipun demikian sifat dan hakikat HAM di mana-mana pada dasarnya
sama juga
Atas dasar itulah maka tidak ada
orang atau badan manapun yang dapat mencabut hak itu dari tangan pemiliknya.
Demikian pula tidak ada seorangpun diperkenankan untuk merampasnya, serta tidak
ada kekuasaan apapun untuk membelenggungnya.
B.SEJARAH HAM
Sejarah HAM
dimulai pada saat berakhirnya Perang Dunia II. Dan, negara-negara penjajah
berusaha menghapuskan segi-segi kebobrokan daripada penjajahan, sehingga
pemikir-pemikir Barat mencetuskan konsep "Declaration of Human
Rights" (DUHAM) pada tahun 1948. Semula Konsep HAM ini secara sukarela
dijual ke semua negara yang sedang berkembang atau negara bekas jajahan namun
tidak banyak mendapat respon. Banyak negara tidak bersedia menandatangani
"Declaration of Human Rights".
Hak Asasi Manusia (HAM) dilahirkan oleh sebuah komisi PBB yang dipimpin
Eleanor Roosevelt, dan pada 10 Desember 1948 secara resmi diterima oleh PBB
sebagai “Universal Declaration of Human Rights”. Universal Declaration of Human
Rights (1948) memuat tiga puluh pasal, menjelaskan hak-hak sipil, politik, ekonomi,
social dan kebudayaan yang fundamental yang harus dinikmati oleh manusia di
dunia ini.Hal itu sesuai dengan pasal 1 piagam PBB, menegaskan salah satu
tujuan PBB adalah untuk mencapai kerjasama internasiomal dalam mewujudkan dan
mendorong penghargaan atas hak-hak asasi manusia dan kemerdekaan yang mendasari
bagi semua orang, tanpa membedakan suku bangsa, kelamin, bahasa maupun agama.
Pada awalnya deklarasi ini hanya mengikat secara formal dan moral anggota PBB,
tetapi sejak 1957 dilengkapi 3 (tiga) perjanjian :
1. International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights
2. International Covenant em civil and
political rights
3. Optional Protocol to the International
covenant on civil and Political Rights
Ketiga dokumen
tersebut diterima Sidang Umum PBB 16 Desember 1966, dan kepada anggota PBB
diberi kesempatan untuk meratifikasinya. Setiap Negara yang meratifikasi dokumen tersebut, berarti
terikat dengan ketentuan dokumen tersebut. Kovenan tersebut bertujuan memberi
perlindungan atas hak-hak (rights) dan
kebebasan (freedom) pribadi manusia.
Setiap Negara yang meratifikasi
kovenan tersebut, menghormati dan menjamin semua individu di wilayah
kekuasaannya, dan mengakui kekuasaan pengadilan hak-hak yang diakui dalam
kovenan tersebut, tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pendapat politik, asal-usul kebangsaan atau social, harta milik,
kelahiran atau status lainnya. Meskipun telah disepakati secara aklamasi oleh
sejumlah anggota PBB, baru 10 tahun kemudian perjanjian itu dapat diberlakukan.
Ini disebabkan pada tahun 1976, baru 35 negara bersedia meratifikasi. Bahkan
tidak berbeda dengan Indonesia,
Negara yang merasa dirinya champion dalam hak asasi manusia seperti USA dan Inggris
hingga awal decade 1990-an belum meratifikasi kedua kovenan tersebut
C.PERKEMBANGAN HAM DI INDONESIA
Memang jika ditilik dari defenisi
HAM maka di Indonesia
tercatat banyak sekali kasus yang terjadi khususnya di bidang HAM. Misalnya
kasus-kasus penggusuran rumah-rumah warga yang dibangun di sekitar jembatan,
pembersihan para pedagang kaki lima
yang sering meresahkan para pengguna jalan raya seperti para pengguna kendaraan
bermotor dan para pejalan kaki
Berikut adalah
perkembangan HAM di Indonesia
1. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945
)
Boedi Oetomo
Dalam konteks
pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran
berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan
kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM
Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
Perhimpunan Indonesia
Lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
Sarekat
Islam
Menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak
dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
Partai Komunis Indonesia
Sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak –
hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
Indische
Partij
Pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan
kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
Partai Nasional Indonesia
Mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
Organisasi
Pendidikan Nasional Indonesia
Menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak
untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di
muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara. Pemikiran HAM
sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno
dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak
lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan
dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak
berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan
dan lisan.
Periode Setelah
Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
Periode 1945 –
1950
Pemikiran HAM
pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam
hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada
periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1
November 1945.Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan
partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945.
b. Periode 1950
– 1959
Periode 1950 –
1959 dalam perjalanan Negara Indonesia
dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada
periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana
kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof.
Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang”
dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata
Negara ini ada lima
aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam
ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi
betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain
dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan
demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari
kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan
melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan
pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya
kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
Periode 1959 –
1966
Pada periode ini
sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai
reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini
( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden.
Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran
infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak
asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
Periode 1966 –
1998
Setelah terjadi
peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan
HAM.Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM.
Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM,
pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada
tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya
hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu
pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad
Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak –
hakAsasiManusiadanHak – hak serta KewajibanWarga negara. Sementara itu, pada
sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami
kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan.
Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan
dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif
pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat
yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam
Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana
tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan
deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan
pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat
untukmemojokkan.
Negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia.Meskipun dari pihak pemerintah mengalami
kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode
ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya
Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhadap penegakan HAM.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi
internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprtikasus Tanjung
Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan
sebagainya.Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an
Nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi
pemerintah dari represif dan defensive menjadi ke strategi akomodatif terhadap
tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif
pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7
Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM,
serta member pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal
pelaksanaan HAM.
Periode 1998 –
sekarang
Pergantian rezim
pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan
dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian
terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan
pemajuan dan perlindungan HAM.Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan
perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan
ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian
tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya
yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hokum dan instrument
Internasional dalam bidang HAM.
Strategi
penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status
penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. Pada tahap penentuan
telah ditetapkan beberapa penentuan perundang–undangan tentang HAM seperti
amandemen konstitusi Negara ( Undang–undangDasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP
MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan
perundang–undangan lainnya.
Pada masa menjelang peralihan
pemerintahan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi banyak sekali kejadian
menyangkut pelanggaran HAM ini. Peristiwa 1998 yang berujung penguduran diri
Presiden Soeharto pada waktu itu sebetulnya adalah puncak dari segala peristiwa
yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan yang sangat represif, banyak aktifis yang
tiba-tiba hilang tak tahu di mana rimbanya. Disinyalir kuat mereka telah
diculik dan dibunuh oleh tangan-tangan penguasa pada waktu itu. Aksi
demo besar-besaran mahasiswa dari seluruh Indonesia juga menyimpan sejumlah
kasus pelanggaran HAM oleh aparat keamanan terhadap rakyat sipil. Semuanya
berlangsung secara sporadic dan sangat massif pada waktu itu. Karena institusi
hukum telah dikuasai oleh penguasa, maka HAM adalah alat yang digunakan untuk
menjerat para pelaku pelanggaran tersebut. Bahkan ketika masa reformasi,
cara-cara pelenyapan aktifis masih juga terjadi. Masih segar dalam ingatan kita
bagaimana almarhum Munir yang tewas secara mendadak dalam perjalanannya ke
Belanda. Di dalam darahnya ditemukan racun jenis arsen yang melewati ambang
batas normal. Diduga kuat dia telah dengan sengaja diracun.
BAB II
PERMASALAHAN
Berdasarkan hal-hal yang telah di
jelaskan pada Bab I Pendahuluan, adapun permasalahan yang saya temukan dan saya
angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
A. Apa dasar Hukum pemberlakuan, penegakan,
dan penghormatan HAM di Indonesia ?
B. Bagaimana Pelaksanaan dan Penegakan HAM di
Indonesia ?
C. Apa saja permasalahan yang dihadapi
pemerintah dalam upaya penegakan HAM ?
D. Bagaiman upaya pemerintah dalam
penghormatan, pengakuan dan penegakan HAM ?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum pemberlakuan, penegakan dan
penghormatan HAM di Indonesia
Istilah atau perkataan hak asasi
manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam
pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat ditemukan
adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan
hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan atau
amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.
Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia,
oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan
agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi
Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi
daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam
UUD 1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu
dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR
yangberlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat
paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan
MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR
tersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999.
Undang-Undang
ini kemudian diikuti lahirnya Perpu No.
1 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan
dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26
oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia
telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM,
antara lain :
Deklarasi
tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
Konvensi
mengenai Hak Politik Wanita 1979,
melalui UU No. 68 Tahun 1958.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.
Konvensi
Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
Konvensi tentang
Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan
sementara.
Konvensi tentang Penghapusan Bentuk
Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.
B. Pelaksanaan
dan penegakan HAM di Indonesia
Tegaknya HAM selalu mempunyai
hubungan korelasional positif dengan tegaknya negara hukum. Sehingga dengan
dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM,
regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No.
26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc, akan lebih menyegarkan iklim
penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran hukum dan keadilan harus dapat
dinikmati oleh setiap warganegara secara egaliter. Disadari atau tidak,
dengan adanya political will dari pemerintah terhadap penegakkan HAM, hal itu
akan berimplikasi terhadap budaya politik yang lebih sehat dan proses demokratisasi
yang lebih cerah. Dan harus disadari pula bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM
dan keadilan itu memang memerlukan proses dan tuntutan konsistensi politik.
Begitu pula keberadaan budaya hukum dari aparat pemerintah dan tokoh masyarakat
merupakan faktor penentu (determinant) yang mendukung tegaknya HAM.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi
sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya
yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di lapangan
ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab pelanggaran HAM
antara lain adanya arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang
pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri
sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Terutama dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, issue mengenai HAM di Indonesia
bergerak dengan cepat dan dalam jumlah yang sangat mencolok. Gerak yang cepat
tersebut terutama karena memang telah terjadi begitu banyak pelanggaran HAM,
mulai dari yang sederhana sampai pada pelanggaran HAM berat(gross human right
violation). Disamping itu juga karena gigihnya organisasi-organisasi masyarakat
dalam memperjuangkan pemajuan dan perlindungan HAM
Masalah Hak Azasi Manusia (HAM) “populer” di Indonesia pada masa
pemerintahanOrde Baru. Di masa ini banyak peristiwa yang dinilai merupakan pelanggaran
HAM.
Pada dasarnya HAM terdapat pada UUD 1945 BAB X-A pasal 28-A sampai
dengan pasal 28-J. Sebagian kalangan menafsirkan, dengan adanya dasar hukum tersebut
maka masyarakat Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (UUD 1945
Amandemen ke-2 pasal 28-D ayat 1).
Memang jika ditilik dari defenisi HAM maka di Indonesia tercatat banyak sekali
kasus yang terjadi khususnya di bidang HAM. Misalnya kasus-kasus penggusuran
rumah-rumah warga yang dibangun di sekitar jembatan, pembersihan para pedagang
kaki lima yang
sering meresahkan para pengguna jalan raya seperti para pengguna kendaraan
bermotor dan para pejalan kaki.
Pada masa menjelang peralihan pemerintahan dari masa Orde Baru ke masa
Reformasi banyak sekali kejadian menyangkut pelanggaran HAM ini. Peristiwa 1998
yang berujung penguduran diri Presiden Soeharto pada waktu itu sebetulnya
adalah puncak dari segela peristiwa yang terjadi sebelumnya.
C. Permasalahan yang dihadapi pemerintah
dalam penegakan HAM di Indonesia
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah
HAM di Indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan
terus-menerus, baik karena konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun
dalam realita praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan
pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya
arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa,
yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak orang lain. Terutama dalam kurun waktu sepuluh
tahun terakhir ini, issue mengenai HAM di Indonesia bergerak dengan cepat dan
dalam jumlah yang sangat mencolok. Gerak yang cepat tersebut terutama karena
memang telah terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, mulai dari yang sederhana
sampai pada pelanggaran HAM berat (gross human right violation). Di samping itu
juga karena gigihnya organisasi-organisasi masyarakat dalam memperjuangkan
pemajuan dan perlindungan HAM.
Berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam
rangka penghormatan, pengakuan, penegakan hukum dan HAM antara lain
1. Penegakan Hukum di Indonesia belum
dirasakan optimal oleh masyarakat. Hal itu antara lain, ditunjukan oleh masih
rendahnya kinerja lembaga peradilan. Penegakan hukum sejumlah kasus pelanggaran
HAM berat yang sudah selesai tahap penyelidikannya pada tahun 2002, 2003, dan
2004, sampai sekarang belum di tindak lanjuti tahap penyelidikannya.
2. Masih ada peraturan perundang-undangan
yang belum berwawasan gender dan belum memberikan perlindungan HAM. Hal itu
terjadi antara lain, karena adanya aparat hukum, baik aparat pelaksana
peraturan perundang-undangan, maupun aparat penyusun peraturan
perundang-undangan yang belum mempunyai pemahaman yang cukup atas
prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia.
3. Belum membaiknya kondisi kehidupan
ekonomi bangsa sebagai dampak krisis ekonomi yang terjadi telah menyebabkan
sebagian besar rakyat tidak dapat menikmati hak-hak dasarnya baik itu hak
ekonominya seperti belum terpenuhinya hak atas pekerjaan yang layak dan juga
hak atas pendidikan
4. Sepanjang tahun 2004 telah terjadi
beberapa konflik dalam masyarakat, seperti Aceh, Ambon, dan Papua yang tidak
hanya melibatkan aparat Negara tetapi
juga dengan kelompok bersenjata yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak untuk
hidup secara aman dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan
5. Adanya aksi terorisme yang ditujukan
kepada sarana public yang mnyebabkan rasa tidak aman bagi masyarakat
6. Dengan adanya globalisasi, intensitas
hubungan masyarakat antara satu Negara dengan Negara lainnya manjdi makin
tinggi. Dengan demikian kecenderungan munculnya kejahatan yang bersifat
transnasional menjadi makin sering terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut antara
lain, terkait dengan masalah narkotika, pencucian uang dan terorisme. Salah
satu permasalahan yang sering timbul adalah adanya peredaran dokumen palsu.
Yang membuat orang-orang luar bebas datang ke Indonesia
Beberapa masalah
Hak Asasi di Indonesia yaitu:
1. Perlindungan Perempuan : Keadilan dan
kesetaraan gender.
UUD 1945 pasal
27 menjamin persamaan Hak perempuan dan Laki-laki ; dan Bahwa perempuan adalah
bagian dari HAM yang tercantum dalam UU No. 7/198-4 tentang anti diskriminasi
dan UU No. 39/1999 tentang HAK. Ada
pun hak-hak politik perempuan tercantum dalam UU No. 68/1958
2. Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan
perdagangan perempuan dan Anak
Indonesia telah
memiliki rencana aksi nasional penghapusan trafficking perempuan dan anak
2003-2007. RAN tersebut merupakan implementasi dari konvensi PBB menentang
kejahatan Terorganisir antar Negara
3. Perlindungan Hak Anak
Pemerintah Indonesia telah
mengambil langkah legislative dan administrative untuk lebih memperbaiki perlindungan
hak-hak anak dan perempuan.
Langkah-langkah legislative tersebut antara lain dengan keluarnya UU No.
32 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan UU No. 20 tahun 2003 dengan system
pendidikan nasional. Sedangkan langkah administrative dalam menetukan rencana
aksi dan penentuan penjuru untuk pemajuan dan perlindungan HAM antara lain,
melalui kepres No. 59 tahun 2002 tentang rencana aksi nasional penghapusan
Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak. Dan juga pembentukan komisi perlindungan
anak Indonesia
di bentuk pada tahun 2003 melalui keppres No. 77 tahun 2003
D. Upaya Pemerintah dalam hal
penghormatan, pengakuan , dan
penegakan Hukum dan HAM
Untuk mewujudkan dan menegakkan Hak
Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tidaklah semudah menuliskan serta
mengucapkannya. Hal ini disebabkan banyak hambatan dan tantangan yang tidak
lagi sebatas terorika, melainkan sudah menjadi realita yang tidak dapat
dihindari apalagi ditunda-tunda.
Dalam penegakan HAM melalui sistem hukum pidana yang telah berlaku di Indonesia
terdapat kendala-kendala atau hambatan yang bersifat prinsipil substansil dan
klasik.
Pemerintah wajib dan bertanggung
jawab menghormati, melindungi, menegakkan, Dan memajukan Hak asasi manusia
melalui langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, social,
budaya, pertahanan dan keamanan Negara, dan bidang lainnya.
Bahwa untuk ikut serta memelihara
perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberikan
perlindungan , kepastian keadilan dan perasaan aman kepada perorangan ataupun
masyarakat, perlu dibentuk suatu pengadilan Hak asasi manusia untuk
menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan
pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia yakni UU No.
26 tahun 2000.
Program pemrintah dalam penegakan
Hukum dan HAM (PP Nomor 7 tahun 2005) yaitu meliputi pemberantasan korupsi,
anti terorisme, dan pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya.
Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM
harus selalu ditegakkan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.
Partisipasi masyarakat dapat pula
berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Masyarakat disini meliputi antara lain : setiap orang, kelompok, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga
kemasyarakatan lainnya seperti Perguruan Tinggi, lembaga studi
Partisipasi masyarakat ini dapat
berupa :
a. Pengajuan usulan mengenai perumusan dan
kebajikan yang berkaitan dengan hak asasi manusia
b. Melakukan penelitian
c. Melakukan pendidikan
d. Melakukan penyebarluasan informasi
mengenai hak asasi manusia
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tegaknya HAM
selalu mempunyai hubungan korelasional positif dengan tegaknya negara hukum.
Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM, regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU
No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc,
akan lebih menyegarkan iklim penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran
hukum dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap warganegara secara
egaliter. Disadari atau tidak, dengan adanya political will dari pemerintah terhadap
penegakkan HAM, hal itu akan berimplikasi terhadap budaya politik yang lebih
sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah. Dan harus disadari pula bahwa
kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang memerlukan proses dan
tuntutan konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari aparat
pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant) yang
mendukung tegaknya HAM.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi
sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya
yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di lapangan
ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab pelanggaran HAM
antara lain adanya arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang
pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri
sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Perkembangan dan
perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia terutama terjadi setelah
adanya perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing, sehingga tidak bisa dilihat
sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu
saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh.
Dewasa ini, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia,
tetapi secara umum Implementasi HAM di Indonesia, baik menyangkut perkembangan
dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat
dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan. Di
samping itu telah dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai
kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
B. SARAN
Pengawalan penegakkan HAM kian berat. Tak semudah membalik telapak
tangan. Buktinya di bangsa yang berumur 66 tahun ini belum bisa sepenuhnya
menancapkannya. Walau masih bangsa muda dibandingkan dengan Negara-negara
barat, namun waktu seperti itu bukanlah sempit bagi pemerintah kita untuk
mewujudkannya. Namun mari kembali lagi pada kenyataannya. Bangsa Indonesia belum
menjamin HAM warganya.
Di butuhkan keseriusan pemerintah untuk mempelopori penegakkan HAM di
Indonesia. Tentu saja itu tidak cukup, hanya pemerintah namun,partisipasi dan
kerja sama warga nemasih sangat dibutuhkan kerjasama warna Negara Indonesia yang
semoga baik-baik saja. Kemudian secara sinergi merongrong Negara Indonesia yang
adil.
Kita sebagai mahasiswa
dan generasi penerus bangsa, sudah semestinya membantu pemerintah untuk terus
menegakkan HAM di Indonesia. Kondisi HAM di Indonesia sudah saatnya dibenahi
dan ditata ulang agar terbentuk good goverment. Segala jenis hambatan dan
tantangan yang dapat mengganggu terwujudnya pelaksanaan HAM harus segera
dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU :
Murya,
Edy.SH.M.Hum. 2012. Diktat Hukum dan Hak Asasi Manusia. Medan : Universitas Sumatera Utara
Affandi , Idrus,
dkk. 2007. Hak Asasi Manusia. Jakarta
: Universitas Terbuka
Basrowi, dkk.
2006. Demokrasi dan HAM. Kediri
: Jenggala Pustaka Utama.
Bahar,
Safroedin,Drs. 1997. Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Pustaka Sinar
Sumarsono, S,
Drs. 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
PT Gramedia
Kaelan, H, Dr.
2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta:Gramedia
PERUNDANG-UNDANGAN
UUD 1945
UU N0. 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia
KEPRES No. 50
Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993 Tentang Pembentukan KOMNAS HAM
LAIN-LAIN
INTERNET
www.waspada-online.com
http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/09/upaya-penegakan-hak-asasi-manusia-di.html
http://www.kapanlagi.com/h/politik_nasional.html
www.komnas-ham.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar