LATAR BELAKANG DAN PERKEMBANGAN
CRITICAL LEGAL STUDIES
Oleh: Emillia Arief, SH
A. LATAR BELAKANG CRITICAL LEGAL STUDIES
Teori hukum tradisional mengajarkan, hukum merupakan seperangkat aturan
dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan
kebebasannya. Para penganut teori hukum
tradisional berkeyakinan bahwa hukum haruslah netral dan dapat diterapkan
kepada siapa saja secara adil, tanpa memandang kekayaan, ras, gender atau
harta. Meskipun mereka tidak satu pendapat mengenai apakah dasar yang terbaik
bagi prinsip-prinsip hukum, yakni apakah dasarnya adalah wahyu Tuhan, etika
sekuler, pengalaman masyarakat, atau kehendak mayoritas. Akan tetapi, umumnya
mereka setuju terhadap kemungkinan terpisahnya antara hukum dan politik, hukum
tersebut menurut mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil[1].
Para teoritisi postmodern percaya, pada
prinsipnya hukum tidak mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada yang namanya
kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Dengan kata lain, hukum tidak
mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya kekuasaan. Akhir-akhir ini, mereka
yang disebut juga dengan golongan antifoundationalistis, telah mendominasi
pikiran-pikiran tentang teori hukum dan merupakan pembela gerakan Critical
Legal Studies[2]. Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah,
bermoral atau tidak bermoral melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan
dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling berkuasa[3].
Karena itu, para postmodernist ini menentang hukum dengan mengatakan
bahwa hukum tidak berdasarkan benar atau salah secara universal, tetapi hanya
perwujudan kekuasaan oleh 1 (satu) kelompok masyarakat terhadap kelompok
masyarakat lainnya. Dalam bidang hukum. Muncul gerakan yang menantang teori
hukum tradisional, gerakan itu disebut dengan gerakan critical legal studies.
Critical Legal
Studies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan
sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang
sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun
1960-an. Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang
kontras. Di satu sisi, beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi
hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung.
Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya
yang dilengkapi dengan sepatu boot dan berlaku represif untuk membasmi setiap
anggota masyarakat yang membangkang.
Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Critical Legal Studies lahir karena pembangkangan atas ketidak puasan terhadap teori dan praktek hukum pada saat itu, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut[4] :
1. Terhadap
pendidikan hukum
2. Pengaruh
politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum
3. Kegagalan
peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada
Sebagaimana
diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang
terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream
saat itu, semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak
bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab
berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir
abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalam
praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut.
Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoritis
dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an,
beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata yang kritis, bahkan
sangat kritis, dengan gerakannya yang terbilang revolusioner, akhimya
memunculkan suatu aliran baru dalam filsafat hukum, yang kemudian dikenal
dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies).
Gerakan critical legal studies mulai eksis dalam dekade 1970-an yang
merupakan hasil dari kofrensi tahun 1977 tentang critical legal studies di
Amerika serikat. Pada saat yang hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah
itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi
dalam style, metode dan fokus , juga lahir secara terpisah dan independen di
beberapa negara lain selain Amerika Serikat, seperti di Jerman, Prancis.
Di Inggris, gerakan critical legal studies ini dibentuk dalam konferensi
tentang critical legal studies pada tahun 1984. Pada tahun tersebut, diundang
para ahli hukum untuk membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum,
mengingat adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in books)
dengan hukum dalam kenyataan (law in actions) dan kegagalan masyarkat merespon
masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat[5]. Konferensi yang dianggap
sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies
tersebut dilakukan oleh suatu organizing committee yang beranggotakan sebagai
berikut: Abel, Heller, Horwitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet
dan Unger. Meskipun aliran critical legal studies belum tentu juga mempunyai
teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya sejarah.
Fokus sentral pendekatan critical legal studies adalah untuk mendalami
dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan praktek
institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang
oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untuk mengembangkan
alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajagi peran hukum dalam menciptakan
hubungan politik, ekonomi dan dan sosial yang dapat mendorong terciptanya
emansipasi kemanusiaan[6].
Dalam
perkembangan lebih lanjut, pendekatan critical legal studies telah melahirkan
generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan
menggunakan hukum untuk merekontruksi kembali realitas sosial yang baru. Mereka
berusaha keras untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang
muncul di permukaan sebagai sesuatu yang netral, di dalamnya penuh dengan bias
terhadap kultur, ras atau gender. Generasi kedua dari critical legal studies
sekarang muncul dalam wujud Feminist Legal Theories, Critical Race Theoriest,
Radical Criminology dan juga Economic Theory of Law.
B.POKOK-POKOK PEMIKIRAN CRITICAL LEGAL
STUDIES
Aliran critical legal studies memiliki beberapa karakterisik umum sebagai
berikut[7]:
·
Mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya
memihak ke politik dan sama sekali tidak netral.
·
Mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan
ideologi tertentu.
·
Mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan
individual sesuai dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak
berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan. Karena hal itulah, maka tidak
mengherankan apabila pada perkembangannya di kemudian hari Critical Legal Studies
ini melahirkan pula Feminist Legal Theory dan Critical Race Theory.
·
Kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang
abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objekif. Karena itu, ajaran ini
menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum. Aliran critical
legal studies menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan
menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian
hukum yang objektif, sehingga mereka mengubah haluan hukum untuk kemudian
digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik,
ekonomi, dan sosial budaya.
·
Menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan
menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai yang merupakan karakteristik dari
paham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure
teory) tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap
transfomasi sosial yang praktis. Sejalan dengan hal itu, namun dalam kalimat
yang berbeda, Gary Minda dengan mengutip pendapat dari James Boyle mengatakan
bahwa, “Critical Legal Studies offered not merely a theory of law, but a
hopeful self-conception of a politically active, socially responsible [vision]
of a noble calling”.
Pada prinsipnya, critical legal studies menolak anggapan ahli hukum
tradisional yang mengatakan sebagai berikut[8]:
·
Hukum itu objektif. Artinya, kenyataannya adalah
tempat berpijaknya hokum
·
Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum
menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti
·
Hukum itu netral, yakni tidak memihak pada pihak
tertentu.
Disamping menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran critical
legal studies mengajukan pandangannya sebagai berikut[9]:
1.
Hukum mencari legitimasi yang salah
Dalam hal ini, hukum mencari legitimasi dengan cara
yang salah yaitu dengan jalan mistifikasi, dengan menggunakan prosedur hukum
yang berbelit, dan bahasa yang susah dimengerti, yang merupakan alat pemikat
sehingga pihak yang ditekan oleh yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum
adalah netral
2.
Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi
Dalam hal ini, pihak penganut critical legal
studies percaya bahwa setiap kesimpulan hukum yang telah dibuat selalu terdapat
sisi sebaliknya, sehingga kesimpulan hukum tersebut hanya merupakan pengakuan
terhadap pihak kekuasaan. Dengan hukum yang demikian, mereka akan berseru
”pilih sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi objektif”. Dalam hal
ini, hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat) yang dengan
sendirinya akan menekan pihak lain.
3.
Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam
hukum
Ahli hukum yang tradisional percaya bahwa prinsip
yang mendasari setiap hukum adalah ”pemikiran yang rasional”. Akan tetapi
menurut penganut aliran ini, pemikiran rasional itu merupakan ciptaan
masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan. Karena itu, tidak
ada kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan deduktif maupun
dengan verifikasi empiris.
4.
Hukum Tidak Netral
Penganut critical legal studies berpendapat bahwa
hukum tidak netral, dan hakim hanya berpura-pura atau percaya secara naif bahwa
dia mengambil putusan yang netral dan tidak memihak dengan mendasari putusannya
pada undang-undang, yurisprudensi atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal
mereka, selalu bisa dan selalu dipngaruhi oleh ideologi, legitimasi,
mistifikasi yanng dianutnya untuk memperkuat kelas yang dominan.
Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara
konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies).
Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa
terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus
untuk masalah ini, berbagai altematif pendekatan baru telah dilakukan oleh para
ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical
sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial
lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang
dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang
dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara.
lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis”
(dialectical critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum
seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan
hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas”
(identity thinking).
Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap
anti-liberal, antiobjektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori
dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodern,
neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah
ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum,
hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan
penegak hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka
mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan
ideologi tertentu.
Esensi pemikiran critical legal studies terletak pada kenyataan bahwa
hukum adalah politik. Dari pemikiran law is politics itu, critical legal
studies berarti sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivis
dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal. Critical Legal
Studies berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang
muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh
dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan
kepentingan ekonomi. Menurut pandangan critical legal studies, doktrin hukum
yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang
mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, politik ataupun militer.
Oleh karena itulah, maka dalam memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat
dari konteks power-relations[10].
Sebagai salah
satu contoh dari hal tersebut di atas, dapat dilihat dari praktik hubungan
antarnegara. Dalam hubungan antarnegara, kekuatan sering digunakan oleh negara
maju terhadap negara berkembang untuk[11]:
·
Terlibat dalam kebijakan dalam negeri negara
berkembang.
·
Menekan negara berkembang agar negara berkembang
itu melakukan tindakan yang sesuai dengan kebijakan dari negara maju.
Proses intervensi dan penekanan yang dilakukan oleh negara maju seperti
itulah yang kemudian dibungkus dengan suatu bentuk perjanjian internasional,
agar tampak lebih manusiawi. Dalam keadaan yang demikian itu, maka tepatlah
jika Karl Marx menganggap bahwa fungsi utama dari hukum itu adalah untuk menyelubungi
atau menutup-nutupi hubungan antarkekuatan yang timpang.
Ada
berbagai macam varian di dalam arus critical legal studies. Varian itu
disebabkan karena adanya beragam latar belakang sumber intelektual dan
orientasi politik dari para pemikir yang ada di dalam critical legal studies.
Walaupun memang berisiko mengakibatkan terjadinya penyederhanaan dalam
memandang critical legal studies, tetapi setidaknya dapat disebutkan 3 (tiga)
varian utama dalam pemikiran critical legal studies ini, yaitu[12]:
- Arus pemikiran yang diwakili oleh Unger, yang mencoba mengintegrasikan 2 (dua) paradigma yang saling bersaing, yaitu paradigma konflik dan paradigma konsensus.
- Arus pemikiran yang diwakili oleh David Kairys, yang mewakili tradisi pemikiran hukum marxis atau tepatnya mewarisi kritik marxis terhadap hukum liberal yang dianggap hanya melayani sistem kapitalisme. Arus pemikiran ini mempunyai kecenderungan kepada sosialisme humanistik sebagai komitmen politiknya.
- Arus pemikiran yang diwakili oleh Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis, fenomenologis dan neo-marxis.
Roberto Unger dalam bukunya mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak
yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaum critical legal studies
tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaum
critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi
hukum yang sistematik dari para ahli hukum yang sangat ambisius dan tidak valid
jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak
lawyer dan hakim dalam praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum
critical legal studies terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rangka
mempertahankan ajaran formalisme dengan berbagai argumentasi, di samping, juga
dalam rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara
penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat.
Para penganut aliran Critical Legal
Studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab,
menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap
sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan
masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana
dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang
bersifat transformatif.
Critical Legal Studies menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi
dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi
lainnya untuk memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang
dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika
dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi
menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna
tanpa teori sosial.
Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah
dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku. Kebenaran bersifat
relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu. Seseorang
secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah
dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis
pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak,
kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi
kabur.
Critical Legal Studies mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial.
Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan
suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan
atau ideology tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk
mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang
menyalahkan kondisi dan alam. Bagi critical legal studies, kesadaran hukum
adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini
merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental
bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.
Namun demikian, walaupun ada beragam arus pemikiran dalam critical legal
studies ini, para pemikir critical legal studies tersebut tetaplah bersatu
dalam pokok pemikiran yang tidak puas dan melancarkan kritik terhadap paradigma
hukum liberal. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini,
critical legal studies menggunakan metode[13]:
- Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
- Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
- Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum.
C.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN CRITICAL LEGAL
STUDIES
Kelebihan critical legal studies terdiri dari berbagai macam pemikiran
yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut
bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran
post-modern. Ada
beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu
ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan
didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur
sosial.
Kekritisan critical legal studies dalam memahami realitas sosial dan tata
hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial
untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama critical
legal studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap
tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim
yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif.
Kelebihan lain dari critical legal studies adalah perhatiannya yang
sangat besar erhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam
tatanan sosial. Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan
eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan
industri sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot
arus budaya massa
yang abstrak.
Namun teori ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Sebagaimana
pemikiran kritis, apabila tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan
dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling
tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana
sehingga melupakan tugas praktis terhadap masyarakat.
Kelemahan lain
adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri
melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal
realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan
lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Akibatnya critical
legal studies sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama
critical legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan
oleh orang lain.
D.PERKEMBANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES DI INDONESIA
Critical Legal Studies bagi kalangan hukum di Indonesia sendiri masih dianggap baru.
Perkembangan awal critical legal studies digunakan oleh kalangan aktivis
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum
yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang
cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab
kritis. Namun untuk saat ini kita tidak tahu apakah para aktivis LSM masih
cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya.
Saat ini Indonesia
berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang
mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis
internasional yang sangat-sangat membahayakan. Maka sudah saatnya
pemikiran-pemikiran critical legal studies juga digunakan untuk memahami,
mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia yang terlalu banyak carut
marut di dalam penerapannya
Pemikiran Critical Legal Studies juga telah mempengaruhi pemikiran para
ahli hukum di Indonesia.
Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan
hukum di Amerika Serikat pada saat Critical Legal Studies ini lahir. Jadi
dengan demikian, penggunaan metode yang ditawarkan oleh Critical Legal Studies
memang akan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap keadaan hukum
di Indonesia. Untuk hal ini, menarik juga untuk memperhatikan pendapat dari
Ifdhal Kasim yang menyatakan: “Kajian-kajian hukum Critical Legal Studies saya
kira sangat relevan kita gunakan dalam menganalisis proses-proses hukum di Indonesia,
dalam menganalisis proses-proses pembentukan dan penerapannya maupun untuk
menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana ia telah berfungsi mengabsahkan
suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Saya kira memang sangat diperlukan
suatu analisis yang dapat mengungkap “hidden political intentions” di belakang berbagai
konsep, doktrin dan proses-proses hukum di sini”[14].
Penggunaan critical legal studies untuk menganalisis hukum di Indonesia
paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada masa
inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik
dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi
memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang disertai
dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan
stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik
rakyat
Selain hal tersebut, perlu pula diperhatikan, bahwa pada saat menggunakan
metode critical legal studies dalam menganalisis keadaan hukum di Indonesia, tetaplah
harus memperhatikan faktor-faktor tertentu yang sifatnya khas dan mungkin hanya
ada di Indonesia, seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia atau
faktor agama. Bahkan untuk faktor agama ini, akan sangat mungkin menjadi
hambatan untuk dilakukannya kajian yang kritis terhadap hukum[15]. Misalnya
saja, tentu akan sulit untuk melakukan kajian yang kritis terhadap kemungkinan
dibentuknya peraturan perundang-undangan yang melegalkan perkawinan sesama
jenis kelamin (homoseksual) di Indonesia. Hambatan terhadap kajian kritis
semacam itu, tentu terletak pada keyakinan masyarakat Indonesia yang
pada umumnya masih menganggap bahwa perilaku homoseksual itu adalah dilarang
oleh agama (bertentangan dengan nilai agama). Jadi, dalam menggunakan metode
critical legal studies ini tetaplah “kontekstualisasinya diperlukan”[16].
DAFTAR PUSTAKA
Anom Surya
Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Fitzpatrict,
Peter dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987
Fuady, Munir,
Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum). PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
Roberto
Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement , Harvard
University Press, Cambridge, 1986
W , Friedmann,
Teori dan Filsafat Hukum Susunan I, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali
Press, Jakarta,
1990
W , Friedmann,
Teori dan Filsafat Hukum Susunan III, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali
Press, Jakarta,
1990
[1] Munir Fuady,
Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal 1.
[2] Ibid
[3] Ibid, 2
[4] Munir Fuady,
op.cit, hal.3
[5] Ibid
[6] Peter
Fitzpatrict dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987, hal 2
[7] Ibid, hal.90
[8] Munir Fuady,
op. cit, hal 6
[9] Ibid, hal
6-7
[10] Abdulkadir
Jailani, “Hukum Internasional Pasca Perang Irak: Legalisasi Politik
Internasional dan Politisasi Hukum Internasional”, dimuat dalam Jurnal Hukum
Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
(Volume 2, Nomor 2, Januari 2005), hal 336
[11] Hikmahanto
Juwana, “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara
Berkembang dan Maju”, (Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam
Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 10 November 2001), hal 7.
[12] Ifdhal
Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies dalam Kajian Hukum di
Indonesia,terjemahan dari karya Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal
Studies Movement, Cambridge Harvard University Press, 1986, hal. 24
[13] Hikmahanto
Juwana, op.cit, hal 8
[14] Ifdal
Kasim, loc. cit, hal. 29-30
[15] Anom Surya
Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 18
[16] Roberto
Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement , Harvard University
Press, Cambridge,
1986, hal 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar