Translate

Jumat, 14 Desember 2012

SAINS : Kiamat 2012, Gejolak Bumi dan Matahari

 
Tak hanya diramu dengan fenomena antariksa yang spekulatif, isu kiamat 21 Desember 2012 juga dipadu dengan proses alamiah Bumi dan Matahari yang dimaknai berlebihan. Bumi dan Matahari tidaklah mati, tetapi berproses dinamis dan terus berevolusi.

Penggagas isu menyebut, kiamat juga terjadi karena adanya perubahan arah kutub magnet Bumi dan melemahnya medan magnet Bumi. Kutub utara magnet Bumi akan berbalik 180 derajat menjadi kutub selatan dan sebaliknya.

Perubahan arah kutub magnet diyakini akan melemahkan medan magnet Bumi. Akibatnya, kemampuan Bumi menahan radiasi sinar kosmik, termasuk radiasi Matahari, hilang.

Ini dikatakan bisa membahayakan satelit, mengganggu orientasi gerak binatang, hingga berbagai kekacauan arah pesawat karena satelit terganggu.

Guru Besar Kemagnetan Batuan Institut Teknologi Bandung Satria Bijaksana, Rabu (12/12/2012), mengatakan, kutub magnet Bumi memang bisa berubah arah 180 derajat. Kutub magnet juga bisa bergeser seperti yang kini terjadi atau melemah. ”Tapi, perubahan itu tidak terjadi tiba-tiba,” ujarnya.

Kutub utara magnet Bumi berada 11,5 derajat dari kutub utara Bumi dan ada di wilayah Kanada. Ia bergerak ke utara-barat laut dengan besaran setengah derajat dalam lima tahun. Pada abad mendatang, kutub utara magnet Bumi akan ada di Siberia, Rusia.

Perubahan arah dan pergeseran kutub magnet Bumi disebabkan oleh sirkulasi material dalam inti bagian luar Bumi. Inti bagian luar ini berupa fluida (cairan) yang terdiri atas nikel dan besi. Gerak fluida tersebut dipengaruhi oleh rotasi Bumi.

Mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia Lambok Hutasoit mengatakan, rekaman batuan selama 76 juta tahun menunjukkan telah terjadi puluhan kali perubahan arah kutub magnet berkebalikan. Namun, tak ada yang aneh dengan batuan Bumi. Jeda waktu antar- perubahan arah kutub 25.000 tahun hingga jutaan tahun.

Satria menambahkan, perubahan kutub magnet berkebalikan terakhir terjadi 780.000 tahun lalu. Proses transisinya butuh sekitar 20.000 tahun, waktu yang cukup bagi makhluk hidup Bumi untuk beradaptasi.

Meskipun demikian, perubahan dan pergeseran kutub tidak menimbulkan dampak apa pun bagi manusia, kecuali bagi mereka yang menggunakan kompas sebagai penunjuk arah dan ada di sekitar kutub.

Badai Matahari

Jelang kiamat juga diwarnai isu datangnya badai Matahari. Badai itu ditandai oleh pelepasan partikel Matahari yang bermuatan secara berlebih akibat ledakan Matahari dan lontaran material korona (atmosfer Matahari). Selain membawa energi, partikel membawa medan magnet yang menimbulkan radiasi elektromagnetik jumlah besar.

Kepala Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Clara Yono Yatini mengatakan, aktivitas Matahari meningkat sejak 2010. Ini bagian dari siklus 11 tahunan Matahari. Selama 2012, aktivitasnya terus meningkat dan diperkirakan mencapai puncaknya Mei-Juni 2013.

Selama menuju puncak, badai Matahari bisa terjadi kapan saja. Waktunya tidak bisa dipastikan, hanya diperkirakan. Kapan terjadinya badai sudah bisa di- prediksi beberapa hari sebelumnya oleh Lapan dan lembaga penelitian astronomi lain.

Namun, badai ini belum tentu berdampak pada Bumi, tergantung arah ledakan dan kondisi magnetosfer Bumi, apakah muatan magnetnya sama atau berlawanan dengan muatan magnet partikel Matahari.

Satria mengatakan, magnetosfer adalah medan magnet, bukan lapisan partikel. Ia tidak bisa disamakan dengan lubang ozon. Karena itu, tidak ada istilah magnetosfer retak atau bocor seperti yang diisukan.

Menurut Clara, badai Matahari adalah peristiwa rutin. Pengamatan siklus Matahari dilakukan sejak 1745. Manusia punya sistem untuk mengantisipasi, termasuk peringatan dini.

Badai ini hanya memberi dampak pada satelit, sistem komunikasi atau kelistrikan di negara-negara dekat kutub. Belum ada catatan manusia jadi korban langsung badai Matahari.

Letusan gunung api

Kiamat juga dikabarkan terjadi akibat letusan gunung api besar (supervolcano), seperti letusan Gunung Toba di Sumatera atau letusan yang membentuk Kaldera Yellowstone di Amerika Serikat.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono berkata, letusan gunung api selalu didahului tanda-tanda peningkatan aktivitas magma, seperti gempa, pelepasan gas, atau penggelembungan gunung. Untuk letusan superdahsyat, tanda-tanda ini harus ada minimal setahun sebelumnya. Letusan tidak bisa terjadi tiba-tiba.

”Semua gunung api aktif di Indonesia terpantau,” ujarnya. Demikian pula gunung api aktif di berbagai negara. Waktu letusan, besaran letusan, dan kapan letusan berakhir tak dapat diprediksi. Karena itu, ramalan letusan besar gunung api 21 Desember dinilai mengada-ada.

Peristiwa yang terjadi di alam tidak terjadi seketika, ada logika yang menyertainya. Semua membutuhkan proses dengan jangka waktu panjang, hingga jutaan tahun. Bukan sulap, bukan sihir.
Sumber :
Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar