Tak ada kebijakan politik di dalam negeri terkait perubahan iklim. Selama ini, isu perubahan iklim tak pernah jadi pembicaraan politik dan tak pernah mendapatkan anggaran khusus, sedangkan di perundingan internasional Indonesia hanya sibuk berbicara hibah dan bantuan dana.
Kondisi itu diungkapkan Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Abetnego Tarigan, dihubungi Minggu (9/12/2012), di Jakarta. Menurut dia, yang juga Ketua Friends of the Earth Indonesia, kondisi itu mengakibatkan tak ada perdebatan di tataran global.
”Pemerintah gagal membawa isu perubahan iklim dalam pembicaraan politik antara eksekutif dan legislatif. Mereka ke Doha tanpa persiapan bersama legislatif. Artinya, itu hanya ”setengah kamar”,” ujar Abetnego.
Idealnya, lanjut Abetnego, Indonesia mengurus diri sendiri, bukan hanya bicara mitigasi, namun juga adaptasi. Ada kebijakan politik berarti ada undang-undang khusus masalah perubahan iklim. ”Implikasinya ke anggaran sehingga ada anggaran khusus untuk mitigasi dan adaptasi,” kata dia.
Saat ini, pengaturan soal moratorium lahan gambut dan hutan primer, pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim, dan soal Penurunan Emisi Melalui Deforestasi dan Degradasi Lahan (REDD+), juga Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, semuanya berbentuk instruksi presiden, keputusan presiden, dan peraturan presiden, ”Belum ada yang berbentuk undang-undang,” ujar Abetnego.
Target kabur
Sementara itu, setelah melalui perpanjangan sehari, Konferensi Perubahan Iklim Pertemuan Para Pihak ke-18 berakhir pada Sabtu (8/12). Akhirnya disepakati perpanjangan Protokol Kyoto ke periode dua. Periode pertama Protokol Kyoto berakhir tahun ini. Pada periode kedua ini, Jepang, Rusia, dan Kanada menyatakan tak ikut serta.
Protokol Kyoto tahap dua hanya akan meliputi negara-negara Uni Eropa, Australia, Ukraina, Swiss, dan Norwegia, yang keseluruhan emisinya 15 persen emisi dunia. Pernyataan target emisi akan disampaikan pada 2014. Pemerintah AS yang tak pernah meratifikasi Protokol Kyoto keberatan karena akan mengganggu perekonomian AS.
Sekjen PBB Ban Ki-moon menyambut hasil Konferensi Doha, namun mengatakan, ”Jauh dari yang harus dilakukan”.
Para aktivis lingkungan pun amat kecewa dengan hasil tersebut dan menyebutnya, ”Doha Climate Gateway”–sebuah ejekan untuk menyebut bahwa konferensi Doha telah gagal.
”Perundingan iklim ini gagal meningkatkan penurunan gas karbon, juga gagal menyediakan langkah yang meyakinkan untuk pendanaan 100 miliar dollar AS per tahun mulai 2020 untuk membantu negara-negara miskin,” bunyi siaran pers dari Climate Action Network-International. ”Tidak ada keterkaitan antara yang urgen di luar sana dan apa yang terjadi di dalam sini,” ujar Jennifer Haverkamp dari Environmental Defense Fund.
Di sisi lain, emisi karbon ternyata naik 2,6 persen tahun ini, atau sekitar 58 persen lebih tinggi dibandingkan emisi tahun 1990. China dituding sebagai negara pengemisi terbesar.(AP/REUTER/ISW)
Sumber :
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar