Translate

Kamis, 31 Oktober 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2009 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang  :  a.  bahwa  kekuasaan  kehakiman  adalah  kekuasaan  yang
merdeka  untuk  menyelenggarakan  peradilan  guna
menegakkan  hukum  dan  keadilan  sehingga  perlu
diwujudkan  adanya  lembaga  peradilan  yang  bersih  dan
berwibawa  dalam  memenuhi  rasa  keadilan  dalam
masyarakat;

b.  bahwa  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang
Peradilan  Agama  sebagaimana  telah  diubah  dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang
Peradilan  Agama  sudah  tidak  sesuai  lagi  dengan
perkembangan  kebutuhan  hukum  masyarakat  dan
ketatanegaraan  menurut  Undang-Undang  Dasar  Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c.  bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana
dimaksud  pada   huruf  a  dan  huruf  b  perlu  membentuk
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 
Mengingat  :  1.  Pasal  20,  Pasal  21,  Pasal  24,  dan  Pasal  25  UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.  Undang-Undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang
Mahkamah  Agung  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia
Tahun  1985  Nomor  73,  Tambahan  Lembaran  Negara
Republik  Indonesia  Nomor  3316)  sebagaimana  diubah
terakhir  dengan  Undang-Undang  Nomor  3   Tahun  2009
tentang  Perubahan  Kedua  Atas  Undang-Undang  Nomor
14  Tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung  (Lembaran
Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009  Nomor  3,
Tambahan  Lembaran  Negara  Repulik  Indonesia  Nomor
4958);
3. Undang-Undang . . .
- 2 -
3.  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang  Peradilan
Agama  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun
1989  Nomor  49,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik
Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang
Peradilan  Agama  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia
Tahun  2006  Nomor  22,  Tambahan  Lembaran  Negara
Republik Indonesia Nomor 4611);
4.  Undang-Undang  Nomor  48  Tahun  2009  tentang
Kekuasaan  Kehakiman  (Lembaran  Negara  Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan  :  UNDANG-UNDANG  TENTANG  PERUBAHAN  KEDUA  ATAS
UNDANG-UNDANG  NOMOR  7  TAHUN  1989  TENTANG
PERADILAN AGAMA.

Pasal I
Beberapa  ketentuan  dalam  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun
1989  tentang  Peradilan  Agama  (Lembaran  Negara  Republik
Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik  Indonesia  Nomor  3400)  sebagaimana  yang  telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun
2006  Nomor  22,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik
Indonesia Nomor 4611), diubah sebagai berikut:
1.  Ketentuan  Pasal  1  diubah  sehingga  Pasal  1  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1 . . .
- 3 -
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.  Peradilan  Agama  adalah  peradilan  bagi  orang-orang
yang beragama Islam.
2.  Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan
tinggi agama di lingkungan peradilan agama.
3.  Hakim  adalah  hakim  pada  pengadilan  agama  dan
hakim pada pengadilan tinggi agama.
4.  Pegawai  Pencatat  Nikah  adalah  pegawai  pencatat
nikah pada kantor urusan agama.
5.  Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru
sita  dan/atau  juru  sita  pengganti  pada  pengadilan
agama.
6.  Mahkamah  Agung  adalah  salah  satu  pelaku
kekuasaan  kehakiman  sebagaimana  dimaksud
dalam  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik
Indonesia Tahun 1945.
7.  Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana
dimaksud  dalam  Undang-Undang  Dasar  Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
8.  Pengadilan  Khusus  adalah  pengadilan  yang
mempunyai  kewenangan  untuk  memeriksa,
mengadili,  dan  memutus  perkara  tertentu  yang
hanya  dapat  dibentuk  dalam  salah  satu  lingkungan
badan  peradilan  yang  berada  di  bawah  Mahkamah
Agung yang diatur dalam undang-undang.
9.  Hakim ad hocadalah hakim yang bersifat sementara
yang  memiliki  keahlian  dan  pengalaman  di  bidang
tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu  perkara  yang  pengangkatannya  diatur  dalam
undang-undang.
2.  Ketentuan  Pasal  3A  diubah  sehingga  Pasal  3A  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 3A
(1)  Di  lingkungan  peradilan  agama  dapat  dibentuk
pengadilan  khusus   yang  diatur  dengan  undangundang.
(2) Peradilan . . .
- 4 -
(2)  Peradilan  Syari’ah  Islam  di  Provinsi  Nanggroe  Aceh
Darussalam  merupakan  pengadilan  khusus  dalam
lingkungan  peradilan  agama  sepanjang
kewenangannya  menyangkut  kewenangan  peradilan
agama,  dan  merupakan  pengadilan  khusus  dalam
lingkungan  peradilan  umum  sepanjang
kewenangannya  menyangkut  kewenangan  peradilan
umum.
(3)  Pada  pengadilan  khusus  dapat  diangkat  hakim  ad
hoc untuk  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus
perkara,  yang  membutuhkan  keahlian  dan
pengalaman  dalam  bidang  tertentu  dan  dalam
jangka waktu tertentu.
(4)  Ketentuan mengenai syarat, tata cara pengangkatan,
dan  pemberhentian  serta  tunjangan  hakim  ad  hoc
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
3.  Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 6 (enam)pasal,
yakni  Pasal  12A,  Pasal  12B,  Pasal  12C,  Pasal  12D,  Pasal
12E, dan Pasal 12F yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1)  Pengawasan  internal  atas  tingkah  laku  hakim
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2)  Selain  pengawasan  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1),  untuk  menjaga  dan  menegakkan
kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku
hakim,  pengawasan  eksternal  atas  perilaku  hakim
dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Pasal 12B
(1)  Hakim  harus  memiliki  integritas  dan  kepribadian
tidak  tercela,  jujur,  adil,  profesional,  bertakwa,  dan
berakhlak  mulia,  serta  berpengalaman  di  bidang
hukum.
(2)  Hakim  wajib  menaati  Kode  Etik  dan  Pedoman
Perilaku Hakim.
Pasal 12C . . .
- 5 -
Pasal 12C
(1)  Dalam  melakukan  pengawasan  hakim  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  12,  Komisi  Yudisial
melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung.
(2)  Dalam  hal  terdapat  perbedaan  antara  hasil
pengawasan  internal  yang  dilakukan  oleh
Mahkamah  Agung  dan  hasil  pengawasan  eksternal
yang  dilakukan  oleh  Komisi  Yudisial,  pemeriksaan
dilakukan  bersama  oleh  Mahkamah  Agung  dan
Komisi Yudisial.
Pasal 12D
(1)  Dalam  melaksanakan  pengawasan  eksternal
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12A  ayat  (2),
Komisi  Yudisial  mempunyai  tugas  melakukan
pengawasan  terhadap  perilaku  hakim  berdasarkan
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2)  Dalam  melaksanakan  pengawasan  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial berwenang:
a.  menerima  dan  menindaklanjuti  pengaduan
masyarakat  dan/atau  informasi  tentang
dugaan  pelanggaran  Kode  Etik  dan  Pedoman
Perilaku Hakim;
b.  memeriksa  dan  memutus  dugaan  pelanggaran
atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
c.  dapat menghadiri persidangan di pengadilan;
d.  menerima  dan  menindaklanjuti  pengaduan
Mahkamah  Agung  dan  badan-badan  peradilan
di  bawah  Mahkamah  Agung  atas  dugaan
pelanggaran  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku
Hakim;
e.  melakukan  verifikasi  terhadap  pengaduan
sebagaimana  dimaksud  dalam  huruf  a  dan
huruf d;
f.  meminta  keterangan  atau  data  kepada
Mahkamah Agung dan/atau pengadilan;
g. melakukan . . .
- 6 -
g.  melakukan  pemanggilan  dan  meminta
keterangan  dari  hakim  yang  diduga  melanggar
Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim  untuk
kepentingan pemeriksaan; dan/atau
h.  menetapkan  keputusan  berdasarkan  hasil
pemeriksaan  sebagaimana  dimaksud  dalam
huruf b.
Pasal 12E
(1)  Dalam  melaksanakan  pengawasan  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  12A,  Komisi  Yudisial
dan/atau Mahkamah Agung wajib:
a.  menaati  norma  dan  peraturan  perundangundangan;
b.  menaati  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku
Hakim; dan
c.  menjaga  kerahasiaan  keterangan  atau
informasi yang diperoleh.
(2)  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  ditetapkan
oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
(3)  Pelaksanaan  tugas  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1)  tidak  boleh  mengurangi  kebebasan  hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.
(4)  Ketentuan  mengenai  pengawasan  eksternal  dan
pengawasan  internal  hakim  diatur  dalam  undangundang.
Pasal 12F
Dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial
dapat  menganalisis  putusan  pengadilan  yang  telah
memperoleh  kekuatan  hukum  tetap  sebagai  dasar
rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.
4.  Ketentuan  Pasal  13  diubah  sehingga  Pasal  13  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 13 . . .
- 7 -
Pasal 13
(1)  Untuk  dapat  diangkat  sebagai  hakim  pengadilan
agama,  seseorang  harus  memenuhi  syarat  sebagai
berikut:
a.  warga negara Indonesia;
b.  beragama Islam;
c.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d.  setia  kepada  Pancasila  dan  Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e.  sarjana  syari’ah,  sarjana  hukum  Islam  atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
f.  lulus pendidikan hakim;
g.  mampu  secara  rohani  dan  jasmani  untuk
menjalankan tugas dan kewajiban;
h.  berwibawa,  jujur,  adil,  dan  berkelakuan  tidak
tercela;
i.  berusia  paling  rendah  25  (dua  puluh  lima)
tahun  dan  paling  tinggi  40  (empat  puluh)
tahun; dan
j.  tidak  pernah  dijatuhi  pidana  penjara  karena
melakukan  kejahatan  berdasarkan  putusan
pengadilan  yang  telah  memperoleh  kekuatan
hukum tetap.
(2)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  ketua  atau  wakil
ketua  pengadilan  agama,  hakim  harus
berpengalaman  paling  singkat  7  (tujuh)  tahun
sebagai hakim pengadilan agama.
5.  Di  antara  Pasal  13  dan  Pasal  14  disisipkan  2  (dua)  pasal,
yakni  Pasal  13A  dan  Pasal  13B  yang  berbunyi  sebagai
berikut:
Pasal 13A
(1)  Pengangkatan  hakim  pengadilan  agama  dilakukan
melalui  proses  seleksi  yang  transparan,  akuntabel,
dan partisipatif.
(2) Proses . . .
- 8 -
(2)  Proses  seleksi  pengangkatan  hakim  pengadilan
agama  dilakukan  bersama  oleh  Mahkamah  Agung
dan Komisi Yudisial.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  proses  seleksi
diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Pasal 13B
(1)  Untuk  dapat  diangkat  sebagai  hakim  ad  hoc,
seseorang  harus  memenuhi  syarat  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  13  ayat  (1),  kecuali  huruf  e
dan huruf f.
(2)  Larangan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17
ayat  (1)  huruf  c  tetap  berlaku  kecuali  undangundang menentukan lain.
(3)  Tata  cara  pelaksanaan  ketentuan  ayat  (1)  diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
6.  Ketentuan  Pasal  14  ayat  (1)  diubah  sehingga  Pasal  14
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  hakim  pengadilan
tinggi  agama,  seorang  hakim  harus  memenuhi
syarat sebagai berikut:
a.  syarat  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  13
ayat  (1)  huruf  a,  huruf  b,  huruf  c,  huruf  d,
huruf g, dan huruf j;
b.  berumur  paling  rendah  40  (empat  puluh)
tahun;
c.  berpengalaman  paling  singkat  5  (lima)  tahun
sebagai  ketua,  wakil  ketua,  pengadilan  agama,
atau  15  (lima  belas)  tahun  sebagai  hakim
pengadilan agama;
d.  lulus  eksaminasi  yang  dilakukan  oleh
Mahkamah Agung; dan
e. tidak . . .
- 9 -
e.  tidak  pernah  dijatuhi  sanksi  pemberhentian
sementara akibat melakukan pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  ketua  pengadilan
tinggi  agama  harus  berpengalaman  paling  singkat  5
(lima)  tahun  sebagai  hakim  pengadilan  tinggi  agama
atau  3  (tiga)  tahun  bagi  hakim  pengadilan  tinggi
agama  yang  pernah  menjabat  ketua  pengadilan
agama.
(3)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  wakil  ketua
pengadilan  tinggi  agama  harus  berpengalaman
paling  singkat  4  (empat)  tahun  sebagai  hakim
pengadilan  tinggi  agama  atau  2  (dua)  tahun  bagi
hakim  pengadilan  tinggi  agama  yang  pernah
menjabat ketua pengadilan agama.
7.  Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah dan di antara ayat (1)
dan  ayat  (2)  disisipkan  2  (dua)  ayat,  yakni  ayat  (1a)  dan
ayat (1b) sehingga Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1)  Hakim  pengadilan  diangkat  oleh  Presiden  atas  usul
Ketua Mahkamah Agung.
(1a)    Hakim  pengadilan  diberhentikan  oleh  Presiden  atas
usul  Ketua  Mahkamah  Agung  dan/atau  Komisi
Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung.
(1b)  Usul  pemberhentian  hakim  yang  dilakukan  oleh
Komisi  Yudisial  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat
(1a)  hanya  dapat  dilakukan  apabila  hakim  yang
bersangkutan  melanggar  Kode  Etik  dan  Pedoman
Perilaku Hakim.
(2)  Ketua  dan  wakil  ketua  pengadilan  diangkat  dan
diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
8.  Ketentuan  Pasal  18  ayat  (1)  diubah  sehingga  Pasal  18
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18 . . .
- 10 -
Pasal 18
(1)  Ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan
diberhentikan  dengan  hormat  dari  jabatannya
karena:
a.  atas permintaan sendiri secara tertulis;
b.  sakit  jasmani  atau  rohani  secara  terusmenerus;
c.  telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi
ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan
agama,  dan  67  (enam  puluh  tujuh)  tahun  bagi
ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan
tinggi agama; atau
d.  ternyata  tidak  cakap  dalam  menjalankan
tugasnya.
(2)  Ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan  yang
meninggal  dunia  dengan  sendirinya  diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.
9.  Ketentuan  Pasal  19  diubah  sehingga  Pasal  19  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 19
(1)  Ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan
diberhentikan  tidak  dengan  hormat  dari  jabatannya
dengan alasan:
a.  dipidana  penjara  karena  melakukan  kejahatan
berdasarkan  putusan  pengadilan  yang  telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.  melakukan perbuatan tercela;
c.  melalaikan  kewajiban  dalam  menjalankan
tugas  pekerjaannya  terus-menerus  selama  3
(tiga) bulan;
d.  melanggar sumpah atau janji jabatan;
e.  melanggar  larangan  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 17; dan/atau
f.  melanggar  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku
Hakim.
(2) Usul . . .
- 11 -
(2)  Usul  pemberhentian  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1)  huruf  a  diajukan  oleh  Ketua  Mahkamah
Agung kepada Presiden.
(3)  Usul  pemberhentian  dengan  alasan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  b  diajukan  oleh
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.
(4)  Usul  pemberhentian  dengan  alasan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  c,  huruf  d,  dan
huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.
(5)  Usul  pemberhentian  dengan  alasan  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi
Yudisial.
(6)  Sebelum  Mahkamah  Agung  dan/atau  Komisi
Yudisial  mengajukan  usul  pemberhentian  karena
alasan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3),  ayat
(4),  dan  ayat  (5),  hakim  pengadilan  mempunyai  hak
untuk  membela  diri  di  hadapan  Majelis  Kehormatan
Hakim.
(7)  Majelis  Kehormatan  Hakim  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (6)  diatur  sesuai  dengan  peraturan
perundang-undangan.
10.  Ketentuan  Pasal  20  diubah  sehingga  Pasal  20  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 20
Dalam  hal  ketua  atau  wakil  ketua  pengadilan
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena  atas
permintaan  sendiri  secara  tertulis  sebagaimana  dimaksud
dalam  Pasal  18  ayat  (1)  huruf  a,  tidak  dengan  sendirinya
diberhentikan sebagai hakim.
11.  Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 21 disisipkan1 (satu)
ayat, yakni ayat (1a) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21 . . .
- 12 -
Pasal 21
(1)  Ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan  sebelum
diberhentikan  tidak  dengan  hormat  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  19  ayat  (1)  huruf  b,  huruf  c,
huruf  d,  huruf  e,  dan  huruf  f  dapat  diberhentikan
sementara  dari  jabatannya  oleh  Ketua  Mahkamah
Agung.
(1a)  Pemberhentian  sementara  sebagaimana  dimaksud
pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(2)  Terhadap  pemberhentian  sementara  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  berlaku  juga  ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(3)  Pemberhentian  sementara  sebagaimana  dimaksud
pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
12.  Ketentuan  Pasal  24  diubah  sehingga  Pasal  24  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 24
(1)  Kedudukan  protokol  hakim  pengadilan  diatur
dengan peraturan perundang-undangan.
(2)  Selain  mempunyai  kedudukan  protokoler,  hakim
pengadilan  berhak  memperoleh  gaji  pokok,
tunjangan,  biaya  dinas,  pensiun  dan  hak-hak
lainnya.
(3)  Tunjangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)
berupa:
a.  tunjangan jabatan; dan
b.  tunjangan  lain  berdasarkan  peraturan
perundang-undangan.
(4)  Hak-hak  lainnya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat
(2) berupa:
a.  rumah jabatan milik negara;
b.  jaminan kesehatan; dan
c.  sarana transportasi milik negara.
(5) Hakim . . .
- 13 -
(5)  Hakim  pengadilan  diberi  jaminan  keamanan  dalam
melaksanakan tugasnya.
(6)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  gaji  pokok,
tunjangan,  dan  hak-hak  lainnya  beserta  jaminan
keamanan  bagi  ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim
pengadilan  diatur  dengan  peraturan  perundangundangan.
13.  Ketentuan  Pasal  27  diubah  sehingga  Pasal  27  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  warga negara Indonesia;
b.  beragama Islam;
c.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d.  setia  kepada  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e.  berijazah  sarjana  syari’ah,  sarjana  hukum  Islam,
atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
f.  berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai
wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda
pengadilan  agama,  atau  menjabat  wakil  panitera
pengadilan tinggi agama; dan
g.  mampu  secara  rohani  dan  jasmani  untuk
menjalankan tugas dan kewajiban.
14.  Ketentuan  Pasal  30  diubah  sehingga  Pasal  30  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 30
Untuk  dapat  diangkat  menjadi  wakil  panitera  pengadilan
tinggi  agama,  seorang  calon  harus  memenuhi  syarat
sebagai berikut:
a.  syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g;
b. dihapus . . .
- 14 -
b.  dihapus.
c.  berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai
panitera  muda  pengadilan  tinggi  agama,  5  (lima)
tahun  sebagai  panitera  muda  pengadilan  tinggi
agama,  atau  3  (tiga)  tahun  sebagai  wakil  panitera
pengadilan  agama,  atau  menjabat  sebagai  panitera
pengadilan agama.
15.  Ketentuan  Pasal  35  diubah  sehingga  Pasal  35  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 35
Panitera tidak boleh merangkap menjadi:
a.  wali;
b.  pengampu;
c.  advokat; dan/atau
d.  pejabat peradilan yang lain.
16.  Di  antara  Pasal  38  dan  Pasal  39  disisipkan  2  (dua)  pasal,
yakni  Pasal  38A  dan  Pasal  38B  yang  berbunyi  sebagai
berikut:
Pasal 38A
Panitera,  wakil  panitera,  panitera  muda,  dan  panitera
pengganti  pengadilan  diberhentikan  dengan  hormat
dengan alasan:
a.  meninggal dunia;
b.  atas permintaan sendiri secara tertulis;
c.  sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus;
d.  telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera,
wakil  panitera,  panitera  muda,  dan  panitera
pengganti pengadilan agama;
e.  telah  berumur  62  (enam  puluh  dua)  tahun  bagi
panitera,  wakil  panitera,  panitera  muda,  dan
panitera  pengganti  pengadilan  tinggi   agama;
dan/atau
f.  ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 38B . . .
- 15 -
Pasal 38B
Panitera,  wakil  panitera,  panitera  muda,  dan  panitera
pengganti  pengadilan  diberhentikan  tidak   dengan  hormat
dengan alasan:
a.  dipidana  penjara  karena  melakukan  kejahatan
berdasarkan  putusan  pengadilan  yang  telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.  melakukan perbuatan tercela;
c.  melalaikan  kewajiban  dalam  menjalankan  tugas
pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga) bulan;
d.  melanggar sumpah atau janji jabatan;
e.  melanggar  larangan  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 35; dan/atau
f.  melanggar kode etik panitera.
17.  Ketentuan  Pasal  39  diubah  sehingga  Pasal  39  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 39
(1)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  juru  sita,  seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  warga negara Indonesia;
b.  beragama Islam;
c.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d.  setia  kepada  Pancasila  dan  Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e.  berijazah pendidikan menengah;
f.  berpengalaman  paling  singkat  3  (tiga)  tahun
sebagai juru sita pengganti; dan
g.  mampu  secara  rohani  dan  jasmani  untuk
menjalankan tugas dan kewajiban.
(2)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  juru  sita  pengganti,
seorang  calon  harus  memenuhi  syarat  sebagai
berikut:
a.  syarat  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g; dan
b. berpengalaman . . .
- 16 -
b.  berpengalaman  paling  singkat  3  (tiga)  tahun
sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.
18.  Ketentuan Pasal 44 dihapus.
19.  Ketentuan  Pasal  45  diubah  sehingga  Pasal  45  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 45
Untuk  dapat  diangkat  menjadi  sekretaris  dan  wakil
sekretaris  pengadilan  agama,  seorang  calon  harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  warga negara Indonesia;
b.  beragama Islam;
c.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d.  setia  kepada  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e.  berijazah  sarjana  syari’ah,  sarjana  hukum  Islam,
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, atau
sarjana administrasi;
f.  berpengalaman  paling  singkat  2  (dua)  tahun  di
bidang administrasi peradilan; dan
g.  mampu  secara  rohani  dan  jasmani  untuk
menjalankan tugas dan kewajiban.
20.  Ketentuan  Pasal  46  diubah  sehingga  Pasal  46  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 46
Untuk  dapat  diangkat  menjadi  sekretaris  dan  wakil
sekretaris  pengadilan  tinggi  agama,  seorang  calon  harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.  syarat-syarat  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
45 huruf a, huruf  b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g; dan
b.  berpengalaman  paling  singkat  4  (empat)  tahun  di
bidang administrasi peradilan.
21. Ketentuan . . .
- 17 -
21.  Ketentuan  Pasal  53  diubah  sehingga  Pasal  53  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 53
(1)  Ketua  pengadilan  melakukan  pengawasan  atas
pelaksanaan tugas hakim.
(2)  Ketua  pengadilan  selain  melakukan  pengawasan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  juga
mengadakan  pengawasan  terhadap  pelaksanaan
tugas dan perilaku panitera, sekretaris, dan juru sita
di daerah hukumnya.
(3)  Selain  tugas  melakukan  pengawasan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2),  ketua
pengadilan  tinggi  agama  di  daerah  hukumnya
melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan
di  tingkat  pengadilan  agama  dan  menjaga  agar
peradilan  diselenggarakan  dengan  seksama  dan
sewajarnya.
(4)  Dalam  melakukan  pengawasan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2),  ketua
pengadilan  dapat  memberikan  petunjuk,  teguran,
dan peringatan, yang dipandang perlu.
(5)  Pengawasan  sebagaimana  yang  dimaksud  pada  ayat
(1),  ayat  (2),  dan  ayat  (3),  tidak  boleh  mengurangi
kebebasan  hakim  dalam  memeriksa  dan  memutus
perkara.
22.  Di  antara  Pasal  60  dan  Pasal  61  disisipkan  3  (tiga) pasal,
yakni  Pasal  60A,  Pasal  60B  dan  Pasal  60C  yang  berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 60A
(1)  Dalam  memeriksa  dan  memutus  perkara,  hakim
harus  bertanggung  jawab  atas  penetapan  dan
putusan yang dibuatnya.
(2)  Penetapan  dan  putusan  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  harus  memuat  pertimbangan  hukum
hakim  yang  didasarkan  pada  alasan  dan  dasar
hukum yang tepat dan benar.
Pasal 60B . . .
- 18 -
Pasal 60B
(1)  Setiap  orang  yang  tersangkut  perkara  berhak
memperoleh bantuan hukum.
(2)  Negara  menanggung  biaya  perkara  bagi  pencari
keadilan yang tidak mampu.
(3)  Pihak  yang  tidak  mampu  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (2)  harus  melampirkan  surat  keterangan
tidak  mampu  dari  kelurahan  tempat  domisili  yang
bersangkutan.
Pasal 60C
(1)  Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan
hukum  untuk  pencari  keadilan  yang  tidak  mampu
dalam memperoleh bantuan hukum.
(2)  Bantuan  hukum  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat
(1)  diberikan  secara  cuma-cuma  kepada  semua
tingkat  peradilan  sampai  putusan  terhadap  perkara
tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3)  Bantuan  hukum  dan  pos  bantuan  hukum
sebagaimana  dimaksud   pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)
dilaksanakan  sesuai  dengan  peraturan  perundangundangan.
23.  Di  antara  Pasal  64 dan  Pasal  65  disisipkan  1  (satu) pasal,
yakni Pasal 64A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64A
(1)  Pengadilan  wajib  memberikan  akses  kepada
masyarakat  untuk  memperoleh  informasi  yang
berkaitan  dengan  putusan  dan  biaya  perkara  dalam
proses persidangan.
(2)  Pengadilan  wajib  menyampaikan  salinan  putusan
kepada  para  pihak  dalam  jangka  waktu  paling
lambat  14  (empat  belas)  hari  kerja  sejak  putusan
diucapkan.
(3)  Apabila  pengadilan  tidak  melaksanakan  ketentuan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2),
ketua pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
24. Di antara . . .
- 19 -
24.  Di  antara  Pasal  91  dan  Pasal  92  disisipkan  2  (dua)  pasal
yakni Pasal 91A dan 91B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 91A
(1)  Dalam  menjalankan  tugas  peradilan,  peradilan
agama dapat menarik biaya perkara.
(2)  Penarikan  biaya  perkara  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  wajib  disertai  dengan  tanda  bukti
pembayaran yang sah.
(3)  Biaya  perkara  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
meliputi  biaya  kepaniteraan  dan  biaya  proses
penyelesaian perkara.
(4)  Biaya  kepaniteraan  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (3)  merupakan  penerimaan  negara  bukan
pajak,  yang  ditetapkan  sesuai  dengan  peraturan
perundang-undangan.
(5)  Biaya  proses  penyelesaian  perkara  sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada pihak atau
para  pihak  yang  berperkara  yang  ditetapkan  oleh
Mahkamah Agung.
(6)  Pengelolaan  dan  pertanggungjawaban  atas
penarikan  biaya  perkara  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1),  diperiksa  oleh  Badan  Pemeriksa
Keuangan  sesuai  dengan  peraturan  perundangundangan.
Pasal 91B
(1)  Setiap  pejabat  peradilan  dilarang  menarik  biaya
selain  biaya  perkara  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 91A ayat (3).
(2)  Pelanggaran  terhadap  ketentuan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dikenai  sanksi
pemberhentian  tidak  dengan  hormat  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 38B.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 20 -
Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan
pengundangan  Undang-Undang  ini  dengan  penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 159
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA
I.  UMUM
Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1945  dalam  Pasal
24  ayat  (1)  menegaskan  bahwa  kekuasaan  kehakiman  merupakan
kekuasaan  yang  merdeka  untuk  menyelenggarakan  peradilan  guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal  24  ayat  (2)  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun
1945  menentukan  bahwa  kekuasaan  kehakiman  dilakukan oleh  sebuah
Mahkamah  Agung  dan  badan  peradilan  di  bawahnya  dalam  lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan  peradilan  tata  usaha  negara,  dan  oleh  sebuah  Mahkamah
Konstitusi.
Perubahan  Undang-Undang  ini  antara  lain  dilatarbelakangi  dengan  adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus
2006,  dimana  dalam  putusannya  tersebut  telah  menyatakan  Pasal  34  ayat
(3)  Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  2004  tentang  Kekuasaan  Kehakiman
dan  ketentuan  pasal-pasal  yang  menyangkut  mengenai  pengawasan  hakim
dalam  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  2004  tentang  Komisi  Yudisial
bertentangan  dengan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia
Tahun  1945  dan  karenanya  tidak  mempunyai  kekuatan  hukum  mengikat.
Sebagai  konsekuensi  logis-yuridis  dari  putusan  Mahkamah  Konstitusi
tersebut,  telah  dilakukan  perubahan  atas  Undang-Undang  Nomor  14  Tahun
1985  tentang  Mahkamah  Agung  sebagaimana  telah  diubah dengan  UndangUndang  Nomor  5  Tahun  2004  tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang
Nomor  14  Tahun  2004  tentang  Mahkamah  Agung  berdasarkan  UndangUndang  Nomor  3  Tahun  2009  tentang  Perubahan  Kedua  Atas  UndangUndang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung,  selain  UndangUndang  Nomor  22  Tahun  2004  tentang  Komisi  Yudisial  itu  sendiri  yang
terhadap  beberapa  pasalnya  telah  dinyatakan  tidak  mempunyai  kekuatan
hukum yang mengikat.
Bahwa . . .
- 2 -
Bahwa  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang  Peradilan  Agama
sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-Undang  Nomor 3  Tahun  2006
tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang
Peradilan  Agama  merupakan  salah  satu  undang-undang  yang  mengatur
lingkungan  peradilan  yang  berada  di  bawah  Mahkamah  Agung,  perlu  pula
dilakukan  perubahan  sebagai  penyesuaian  atau  sinkronisasi  terhadap
Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  2009  tentang  Perubahan  Kedua  Atas
Undang-Undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung  dan
perubahan  atas  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  2004  tentang  Komisi
Yudisial.
Perubahan  Kedua  Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang
Peradilan  Agama  telah  meletakkan  dasar  kebijakan  bahwa  segala  urusan
mengenai  peradilan  agama,  pengawasan  tertinggi  baik menyangkut  teknis
yudisial  maupun  non  yudisial  yaitu  urusan  organisasi,  administrasi,  dan
finansial  berada  di  bawah  kekuasaan  Mahkamah  Agung. Sedangkan  untuk
menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku
hakim,  pengawasan  eksternal  dilakukan  oleh  Komisi  Yudisial.  Perubahan
Kedua  Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang Peradilan  Agama
dimaksudkan  untuk  memperkuat  prinsip  dasar  dalam  penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirianperadilan dan prinsip
kebebasan  hakim  dapat  berjalan  pararel  dengan  prinsip  integritas  dan
akuntabilitas hakim.
Perubahan  penting  lainnya  atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara lain sebagai berikut:
1.  penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah
Agung  maupun  pengawasan  eksternal  atas  perilaku  hakim  yang
dilakukan  oleh  Komisi  Yudisial  dalam  menjaga  dan  menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2.  memperketat  persyaratan  pengangkatan  hakim,  baik  hakim  pada
pengadilan  agama  maupun  hakim  pada  pengadilan  tinggi  agama,  antara
lain  melalui  proses  seleksi  hakim  yang  dilakukan  secara  transparan,
akuntabel,  dan  partisipatif  serta  harus  melalui  proses  atau  lulus
pendidikan hakim;
3.  pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc;
4.  pengaturan  mekanisme  dan  tata  cara  pengangkatan  dan pemberhentian
hakim;
5.  keamanan dan kesejahteraan hakim;
6. transparansi . . .
- 3 -
6.  transparansi putusan dan limitasi pemberian salinanputusan;
7.  transparansi  biaya  perkara  serta  pemeriksaan  pengelolaan  dan
pertanggung jawaban biaya perkara;
8.  bantuan hukum; dan
9.  Majelis  Kehormatan  Hakim  dan  kewajiban  hakim  untuk  menaati  Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan  Agama  sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-Undang  Nomor
3  Tahun  2006  tentang  Peradilan  Agama  pada  dasarnya  untuk  mewujudkan
penyelenggaraan  kekuasaan  kehakiman  yang  merdeka  dan  peradilan  yang
bersih  serta  berwibawa,  yang  dilakukan  melalui  penataan  sistem  peradilan
yang  terpadu  (integrated  justice  system),  terlebih  peradilan  agama  secara
konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
II.  PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1 
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3A
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “diadakan  pengkhususan
pengadilan”  adalah  adanya  diferensiasi/spesialisasi di
lingkungan  peradilan  agama  dimana  dapat  dibentuk
pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase syariah,
sedangkan  yang  dimaksud  dengan  "yang  diatur  dengan
undang-undang" adalah susunan, kekuasaan, dan hukum
acaranya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tujuan  diangkatnya  “hakim  ad  hoc”  adalah  untuk
membantu  penyelesaian  perkara  yang  membutuhkan
keahlian  khusus  misalnya  kejahatan  perbankan  syari’ah
dan yang dimaksud dalam “jangka waktu tertentu” adalah
bersifat  sementara  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan.
Ayat (4) . . .
- 4 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 12A
Ayat (1)
Pengawasan  internal  atas  tingkah  laku  hakim  masih
diperlukan  meskipun  sudah  ada  pengawasan  eksternal
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan
agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan
kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku  hakim
betul-betul dapat terjaga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12B
Cukup jelas.
Pasal 12C
Ayat (1)
Koordinasi  dengan  Mahkamah  Agung  dalam  ketentuan  ini
meliputi pula koordinasi dengan badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12D
Cukup jelas.
Pasal 12E
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim  memuat
kewajiban  dan  larangan  yang  harus  dipatuhi  oleh  hakim
dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12F . . .
- 5 -
Pasal 12F
Yang  dimaksud  dengan  ”mutasi  hakim”  dalam  ketentuan ini
meliputi promosi dan demosi hakim.
Angka 4
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pendidikan  hakim  diselenggarakan  bersama  oleh
Mahkamah Agung dan perguruan tinggi negeri agama
atau swasta yang terakreditasi A dalam jangka waktu
yang  ditentukan  dan  melalui  proses  seleksi  yang
ketat.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 13A
Cukup jelas.
Pasal 13B . . .
- 6 -
Pasal 13B
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang  dimaksud  “dengan  peraturan  perundang-undangan”
adalah  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  2004  tentang
Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Angka 10
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 11 . . .
- 7 -
Angka 11
Pasal 21
Ayat (1)
Pemberhentian  sementara  dalam  ketentuan  ini,  selain
yang  dimaksud  dalam  Undang-Undang  Nomor  43  Tahun
1999  tentang  Pokok-Pokok  Kepegawaian  adalah  hukuman
jabatan  yang  dikenakan  kepada  seorang  hakim  untuk
tidak  memeriksa  dan  mengadili  perkara  dalam  jangka
waktu tertentu.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang  dimaksud  dengan  “sarana  transportasi”  adalah
kendaraan  bermotor  roda  empat  beserta
pengemudinya  atau  sarana  lain  yang  memungkinkan
seorang hakim menjalankan tugas-tugasnya.
Ayat (5)
Yang  dimaksud  dengan  “jaminan  keamanan  dalam
melaksanakan  tugasnya”  adalah  hakim  diberikan
penjagaan  keamanan  dalam  menghadiri  dan  memimpin
persidangan . . .
- 8 -
persidangan.  Hakim  harus  diberikan  perlindungan
keamanan oleh aparat terkait yakni aparat kepolisian agar
hakim  mampu  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus
perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau
intervensi dari pihak manapun.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang  dimaksud  dengan  “pejabat  peradilan  yang  lain”
adalah  sekretaris,  wakil  sekretaris,  wakil  panitera,
panitera  muda,  panitera  pengganti,  juru  sita,  juru  sita
pengganti, dan pejabat struktural lainnya.
Angka 16
Pasal 38A
Cukup jelas.
Pasal 38B
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 9 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang  dimaksud  dengan  “pendidikan  menengah”
adalah  sekolah  menengah  atas  (SMA),  madrasah
aliyah  (MA),  sekolah  menengah  kejuruan  (SMK),  dan
madrasah  aliyah  kejuruan  (MAK),  atau  bentuk  lain
yang sederajat.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 60A
Cukup jelas.
Pasal 60B . . .
- 10 -
Pasal 60B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang  dimaksud  dengan  “kelurahan”  dalam  ketentuan  ini
termasuk desa, banjar, nagari, dan gampong.
Pasal 60C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bantuan  hukum  yang  diberikan  secara  cuma-cuma
termasuk biaya eksekusi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 64A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam  hal  salinan  putusan  tidak  disampaikan,  ketua
pengadilan  yang  bersangkutan  dikenai  sanksi
administratif  berupa  teguran  tertulis  dari  Ketua
Mahkamah Agung.
Yang  dimaksud  dengan  “peraturan  perundang-undangan”
adalah  Undang-Undang  Nomor  14  Tahun  2008  tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
Angka 24
Pasal 91A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Biaya  Kepaniteraan  yang  masuk  penerimaan  negara
bukan  pajak  adalah  sebagaimana  diatur  dalam  Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 91B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5078
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
sesuai dengan aslinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar