BAB
I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surat
Al-Baqarah Ayat 234 : Iddah Wanita Kematian Suami.
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/
£`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya,
Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
1.
Tafsir
Mufradat.[1]
Ø böq©ùuqtFã :
Mereka
meninggal dan mereka yang dicabut nyawanya. Makna asal dari At-Taufi
adalah mengambil sesuatu secara sempurna. Karena itu orang telah mati berarti
telah sempurna umur dan rezekinya.
Ø brâxt :
Mereka
meninggalkan (istri). Fiil ini tidak dipergunakan untuk madhi dan tidak pula
untuk mashdar,sama dengan kata ya’du.
Ø %[`ºurør& :
Pasangan
(laki-laki dan perempuan) ,sedangkan yang dimaksud di sini perempuan (isteri).
Ø `óÁ/utIt :
Tarabbashu berarti menunggu.
Ø `ßgn=y_r&
Al-ajal artinya masa yang ditentukan bagi sesuatu, dan disebut masa yang
ditentukan bagi manusia dengan ajal.
2.
Penjelasan
Ayat (Al-Idhah).
Hal ini merupakan perintah dari Allah SWT yang ditujukan kepada
wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka,yaitu mereka harus
melakukan iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Hukum ini mengenai pula
pada isteri-isteri yang telah digauli oleh suaminya,juga isteri-isteri yang
belum sempat digauli oleh suaminya.dalil yang dijadikan sandaran bagi wanita yang
masih belum diagauli ialah makna umum yang terkandung di dalam ayat ini.[2]
Iddah perempuan yang ditinggal suaminya sebab wafat adalah empat
bulan sepuluh hari,menurut kererangan Zajaj, gunanya supaya dapat diketahui
apakah dia hamila atau tidak ,karena dalam jangka waktu sepanjang itu dapat
diketahui gerak gerik anak yang berada dalam perut ibunya dan kalau sebenarnya
dia telah hamil,maka dia berpindah kepada iddah hamil, bukan iddah wafat
lagi, yaitu sampai dia melahirkan anak yang ada dalam kandungannya itu,
sebagaimana firman Allah dalam QS Ath-Thalaq ayat 4 :”dan
perempuan-perempuan hamil,iddahnya sampai mereka melahirkan kandungannya”.
Jadi ayat ini mentakhsish ayat mengenai iddah wafat,sekalian perempuan
hamil,baik percerainnya dengan suaminya dengan cerai hidup atau cerai
mati,iddahnya adalah melahirkan kandungannya. Demikian keterangan jumhur.[3]
Hikmah dibatasi iddah isteri yang kematian suami 4 bulan 10 hari
itu dikembalikan pada tujuan pokok iddah,yaitu “bara’atu rahim”
(kebersiahan rahim),sedangkan janin itu terbentuk di dalam rahim dalam tiga
fase,fase pertama berbentuh nuthfah (air mani) selam 40 hari,fase kedua
berbentuk darah menggumpal selam 40 hari, fase ketiga berbentuk daging selama
40 hari jadi seluruhnya berjumlah 120 hari (4 bulan). Sesudah masa itu barulah
ditiupkan ruh kedalamnya, karena itu ditambah lagi dengan 10 hari. Abu ‘Aliyah
pernah ditanya : mengapakah 10 hari itu digabung dengan 4 bulan ? ia menjawab:
karena di saat itulah ruh ditiupkan[4].
Wanita yang ditinggal mati suaminya,sedangkan ia dalam keadaan
mengandung . maka sesungguhnya iddah yang harus dialkukannya ialah sampai dia
melahirkan bayinya, sekalipun sesudah kematian suaminya selang waktu yang
sebentar ia melahirkan bayinya. Dikatakan demikian karena mengingat keumuman
makna firman-Nya QS Ath-Thalaq ayat 4:”dan perempuan-perempuan
hamil,iddahnya sampai mereka melahirkan kandungannya”. Ibnu Abbas
berpendapat wanita hamil yang ditinggal mati suaminya diharuskan melakukan masa
iddahnya selama masa yang paling panjang diantara kedua masa tersebut,yaitu
antara masa melahirkan atau 4 bulan 10 hari.[5]
Diantara hikmah lain iddah kematian suami ini adalah sebagai masa
berkabung bagi isteri atas kematian suaminya yang disebut juga denga ihdad.
Islam telah mewajibkan kepada seluruh perempuan yang kematian suami untuk
berkabung selam dalam masa iddah, yaitu 4 bulan 10 hari. Dan untuk keluarga si
mayat diperkenankan berkabung selama 3 hari,lebih dari itu hukumnya haram.
Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal
dari kata ahadda, dan kadang-kadang bisa juga disebut al-hidad
yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis (lughawi) ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan). Larangan yang dimaksud antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah,
kecuali dalam keadaan terpaksa,dan lain
sebagainya.[6]
B.
Surat
Ath-Thalaq Ayat 4 : Iddah Perempuan Monopos,Anak Kecil dan Wanita Hamil.
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³t z`ÏB ÇÙÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾ÍnÍöDr& #Zô£ç ÇÍÈ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”
1.
Tafsir
Mufradat.[7]
Ø `ó¡Í³t :
Al-ya’su
Al-Qanuthu,artinya putus asa,dan dikata orang
juga artinya sama dengan naqidhu raja’(habis/putus harapan).
Ø ÙÅsyJø9$# :
Masa haidh,kata
al mahidh adalah isim dan dapat dikatakan mashdar,maksud kata itu adalah
berkumpulnya darah dalam rahim seorang perempuan dan kalau dibaca al-haudh(telaga)
maka maksudnya berkumpulnya air di sebuah tempat.
2.
Asbabun
Nuzul Ayat.
Dikemukakan oleh Muqatil di dalam Tafsirnya, bahwa Khallad bin bin
Amr bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah SAW tentang iddah wanita yang belum
pernah haid. Maka turunlah ayat At-Thalaq : 4. Berkenaan dengan peristiwa
tersebut, sebagai jawaban pertanyaan itu. Yaitu 3 bulan masa iddah wanita yang
belum pernah haid atau wanita menopause.[8]
Al-hakim meriwayatkan, ibnu jarir ath-thabari dan baihaqi di dalam
sunannya serta segolongan ahli hadits yang lainnya meriwayatkan,bahwa ketika
turun ayat tentang iddah wanita yang dithalaq suaminya dan yang ditinggal mati
suaminya dalam surat Al-Baqarah,maka ubay bin ka’ab berkata :”ya rasulullah
perempuan-perempuan madinah berkata demikian ,’masih ada sebagian perempuan
yang belum disebutkan Allah tentang kedudukan iddahnya’. Nabi SAW
bertanya:’siapa mereka itu? Ubay menjawab anak-anak yang belum haidh dan orang
yang telah berusia lanjut serta perempuan yang hamil. Maka kemudian turunlah
ayat ini (QS. Ath-Thalaq ayat 4).
3.
Penjelasan
Ayat (Al-Idhah).
Perempuan yang telah berhenti dari haidh ialah perempuan yang
pernah membawa kotoran ,kemudian berhenti dan tidak pernah keluar lagi . abu
bakar berkata :” perempuan yang telah berhenti dari haidh itu berbeda dengan
perempuan yang ragu. Perempuan yang telah berhenti haidh itu iddahnya 3 bulan
.begitu juga dengan iddah perempuan yang tidak pernah membawa kotoran seperti
anak-anak.[9]
Mengenai maksud usia lanjut(monopos) Ada ulama mengatakan usia 60
tahun sebagian berpendapat 55 tahun,ada yang tidak memberikan patokan
khusus,tetapi disesuaikan dengan yang berlaku pada masyarakat setempat,atau
yang berlaku menurut kebiasaan pandangan umum secara menyeluruh.
Bila terjadi kasus seorang perempuan yang pernah haidh kemudian
berhenti tanpa diketahui sebabnya,maka dalam menentukan masa iddah mereka ulama
berbeda pendapat sebagai berikut :
1.
Menurut
golongan Hanafiyah dan Syafi’iyah iddah mereka sebagaimana iddahnya perempuan
haidh sampai ia memasuki usia lanjut
kemudian mulai dihitung iddahnya 3 bulan.
2.
Menurut
Imam Malik dan Ahmad ia harus menunggu selama sembilan bulan untuk mengetahui
bersihnya rahim, sebab masa ini adalah masa hamil ,kemudian kalau ternyata
tidak hamil dan jelas diketahui bersihnya rahim maka ia beriddah sebagaimana
iddah orang lanjut usia.
Mengenai penjelasan maksud ayat;
ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r&
“jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah
mereka adalah tiga bulan”
Ada beberapa pendapat ulama:
1.
Imam
Ath Thabari berpendapat bahwa jika kamu
ragu-ragu sehingga kamu tidak mengetahui ketentuan hukum yang harus diterapkan
kepada mereka maka ketentuan iddah mereka adalah 3 bulan.
2.
Menurut
Mujahid ayat itu berkenaan dengan perempuan mustahadhah yang tidak tahu
persis apakah darahnya itu darah haid atau penyakit.
3.
Menurut
Ikrimah dan Qatadah bahwa diantara bentuk keragu-raguan itu ialah perempuan mustahadhah
yang haidhnya tidak teratur,ia haidh di awal bulan dalam waktu yang lama tetapi
beberapa bulan berikutnya hanya haidh sekali.
4.
Ada
yang berpendapat masalah itu berkaitan dengan permulaan surat jadi artinya
sebagai berikut ; janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahmu jika kamu
ragu-ragu habisnya masa iddah mereka.
5.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa jika kamu ragu-ragu itu maksudnya adalah jika
kamu yakin (lawannya).[10]
“Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.menurut zahir ayat ini,semua perempuan hamil,baik yang kematian
suami atau tidak iddahnya adalah sampai dia melahirkan kandungannya. Karena itu
Ali dan ibnu abbas mengatakan bahwa iddah wanita hamil dan yang wafat suaminya
ialah akhir dari kedia masa iddah itu. Umpanya sebulan setelah wafat suaminyaia
melahirkan anak, maka iddah ditunggu sampai lagi sampai genap 4 bulan 10 hari.
Tetapi jika belum juga lahir anaknya padahal sudah lewat 4 bulan 10 hari maka
iddahnya sampai lahir kandungannya. Berkata Umar,ibnu mas’ud dan abu hurairah
iddah perempuan haidh yang wafat suaminya itu ialah melahirkan kandungannya.[11]
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari bahasan makalah di atas maka dapat diambil kesimpulan
diantaranya tentang iddah bagi perempuan yang kematian suami adalah 4 bulan 10
hari. Hal ini berdasarkan kepada Al-qur’an Surat A-Baqarah ayat 234 sebagaimana
di atas. Hikmahnya antara lain untuk menentukan kebersiah rahim perempuan itu
dan juga untuk masa berkabung (ihdad) baginya. Jika sudah lewat masa 4 bulan 10
hari itu maka perempuan itu bisa nikah lagi dan sudah terlepas dari
larangan-larangan dalam ihdad. Dan adapaun jika ketika suaminya meninggal
ketika ia dalam keadaan hamil maka menurut jumhur iddahnya adalah sampai ia
melahirkan. Sedang\kan ali dan ibnu abbas berpedapat iddahnya adalah iddah
terpanjang dari 2 iddah tersebut yaitu 4 bulan 10 hari atau sampai melahirkan
anak.
Adapun iddah bagi perempuan yang sudah tidak haidh lagi dan
anak-anak yang belum pernah haidh sebagaimana diatur dalam QS. Ath-Thalaq ayat
4 iddah mereka (keduanya) adalah 3 bulan. Dalam ayat ini juga diatur tentang
ketentuan iddah wanita hamil yang ditalaq oleh suaminya yaitu sampai ia
melahirkan anaknya.
2.
Kritik
dan Saran
Dalam Penulisan
makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dan dalam penulisan makalah ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada dosen pembimbing
dan teman teman.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam,Jakarta,Kencana.2011.
Al-Dimasyqi ,Al
–Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Terjemah Juz 2,
Bandung ,
Sinar Baru Algesindo : 2000.
Arsal, Tafsir Ayat-Ayat Hukum , Bukittinggi ,
STAIN Bukittinggi Press:2007.
Assuyuti, Jalaludin. Lubab Nuqul fi Asbabun Nuzul.
Tihami, A. ,Sohari Sahrani, Fikih Munakahat ,Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 2009.
[1]
Drs.Arsal, M.Ag . tafsir ayat-ayat hukum,(Bukittinggi,STAIN Bukittinggi
Press.2007)hal.283-284
[2]Al –Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Al-Dimasyqi,
Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 (Bandung,Sinar Baru
Algesindo.2000)hal.563-564
[3]
Syekh.H.Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam,(Jakarta,Kencana.2011)Hal.138
[4]
Drs.Arsal, M.Ag. loc.cit hal 285-286.
[5] Al –Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Al-Dimasyqi.
Loc.cit hal.265
[6] Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M dan
Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., fikih munakahat (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2009) Hal. 342
[7]
Drs.Arsal, M.Ag. loc.cit hal.293-294
[8]
Jalaludin Assuyuti. Lubab Nuqul fi Asbabun Nuzul. Hlm.606
[9]
Syekh.H.Abdul Halim Hasan Binjai,loc.cit. Hal.607
[10]
Drs.Arsal, M.Ag. loc.cit. hal.295-297
[11] .
Syekh.H.Abdul Halim Hasan Binjai,op.cit. hal.608-609
Tidak ada komentar:
Posting Komentar