YUSUF QARDHAWI :
(Percikan Pemikiran Fikih dan Metode Ijtihadnya)
Oleh :
Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.
(Hakim PA Martapura)
Abstrak
Yusuf Qardhawi –selanjutnya disebut Qardhawi-merupakan sosok fenomenal yang pemikirannya selalu menarik
untuk dikaji dan didiskusikan. Sikap moderatnya mengikis
madzhab centris, tetapi ia bukanlah orang yang membenci
madzhab karena ia sejatinya pengagum para imam madzhab,
hanya saja ia memberi garis tegas antara mengikuti hujjah dan
mengikuti figur agar tidak menimbulkan fanatisme buta (taklid).
Sikapnya yang tasamuh (toleran) menjadikan pemikiran
fikihnya progresif inovatif, tidak terjebak pada kejumudan yang
membuatnya mampu berkontribusi menjawab masalah-masalah
kontemporer secara komprehensif. Ia menawarkan gagasannya
tentang fikih, diantaranya: fiqh al-Muwazanah (fikih
keseimbangan), fiqh waqi’i (fikih realitas), fiqh al-Aulawiyat (fikih
prioritas), fiqh al-Maqasid al-Syari’ah, fiqh al-Taghyir (fikih
perubahan).
1
Dalam hal berijtihad menurutnya harus mematuhi
kode etik ijtihad yang menjadi pedoman para mujtahid, namun
ini tidak mutlak. Dalam prakteknya, semua orang dapat
melakukan ijtihad dalam bidang tertentu yang menjadi
spesialisasinya atau yang disebut dengan al-Mujtahid al-Juz’i,
yakni seseorang yang hanya berijtihad pada beberapa persoalan
yang menjadi spesialisasinya saja.
Beberapa metode berijtihad yang dipraktekkan oleh
Qardhawi, yakni: ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad
integrasi antara ijtihad intiqa’i dan insya’i.
Dalam perjalanan pemikirannya, ide-idenya tidak secara
mulus dapat diterima oleh seluruh kalangan tanpa ada reserve
dan resistensi dari beberapa kelompok, namun demikian tidak
mengurangi rasa respek terhadap pemikiran Qardhawi.
Kanta Kunci : Qardhawi, Pemikiran Fikih, Metode Ijtihad.
1
Cecep Taufikurrohman, Syaikh Qardhawi: Guru Umat Pada Zamannya,
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=312, tanggal 08 Maret
2008
2
2
Pendahuluan
Sekitar abad ke-14 Hijriyah atau abad ke-19 Masehi,
terjadi pergumulan pemikiran muslim di Mesir yang dapat
dikelompokkan dalam dua mainstream (arus besar), yakni
antara arus kaum pembaharu dengan arus kaum tradisional. Di
suatu sisi, kaum pembaharu berusaha menghadirkan Islam ke
kancah persoalan-persoalan kontemporer, sedangkan di sisi lain
kaum tradisionalis sama sekali menolak ide pembaharuan
tersebut dan mereka menanggapinya dengan penuh kecurigaan,
bahkan menganggap ide pembaharuan hanyalah merupakan
sebuah ide besar berbau Barat yang akan menghancurkan
prinsip-prinsip ajaran Islam. Padahal bagi para pembaharu,
upaya tajdid ini adalah sebuah keniscayaan (necessity), karena
tanpanya, Islam tidak akan dapat menyentuh persoalan-persoalan baru. Akan tetapi, pembaharuan yang dilakukan harus
tetap memperhatikan prinsip-prinsip pokok Islam yang tidak
dapat berubah (tsawabit). Tentu saja arah berlawanan ini
menimbulkan polemik besar dan berkepanjangan. Akan tetapi,
akhirnya mereda dengan hadirnya beberapa pemikir baru Mesir
pada awal abad ke-20 yang diantaranya adalah Syaikh
Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi.
2
Dua tokoh diatas merepresentasikan kaum pembaharu
dan kaum tradisional yang kemudian melakukan kolaborasi,
sehingga diantara keduanya dapat ditemukan seorang
pembaharu yang memiliki ruh tradisional dan pembela prinsip-prinsip Islam (ushul); serta seorang tradisional yang memiliki
2
Ibid.
3
3
jiwa pembaharu yang menggunakan tajdid sebagai jalan untuk
mempertahankan eksistensi dan ushul Islam.
Lebih Dekat Dengan Qardhawi
Nama lengkapnya adalah Yusuf Abdullah Qardhawi
3
dilahirkan pada tanggal 9 September 1926 disebuah desa yang
bernama Shaftu Turab, daerah Mahallah al-Kubra Provinsi al-Garbiyah Republik Arab Mesir, dari kalangan keluarga yang taat
beragama dan hidup sederhana.
4
Ayahnya adalah seorang petani yang wafat pada saat
Qardhawi berusia dua tahun, sehingga ia dipelihara oleh
pamannya dan hidup bergaul dengan putra putri pamannya yang
dianggap sebagai saudara kandungnya sendiri. Saat berusia
sepuluh tahun, ia belajar pada sekolah al-Ilzamiyah pada pagi
hari dan sore harinya ia belajar al-Quran. Pada usia itu ia telah
hafal al-Quran dan menguasai Ilmu Tilawah. Kemudian ia
melanjutkan pendidikannya ke Tanta dan menamatkan
pendidikannya pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar
pada tahun 1952/1953 dengan predekat terbaik. Setelah itu ia
belajar bahasa Arab selama dua tahun dan memperoleh ijazah
internasional dan sertifikat mengajar. Tahun 1957 ia
melanjutkan karirnya di Ma’had al-Buhus wa al-Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah (Lembaga Tinggi Riset dan Kajian Kearaban).
Tahun 1960 ia menamatkan studi pada Pascasarjana di
Universitas al-Azhar dengan konsentrasi Tafsir Hadits.
Selanjutnya Qardhawi berhasil menyelesaikan pendidikannya
3
Abdurrahman Qadir, Studi Pembaharuan Hukum Islam, Studi Pemikiran
Yusuf Qardhawi tentang Zakat Profesi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
1990) h. 16.
4
Yusuf Qardhawi, alih bahasa Muhammad Ichsan, masalah-masalah Isalam
Kontemporer, (Jakarta: Najah Press 1994) Cet I h. 219
4
4
pada program Doktor dengan disertasi Fiqh al-Zakah pada tahun
1972 dengan predikat cumlaude.
5
Dalam pengembaraan ilmiahnya, Qardhawi banyak
menelaah pendapat para ulama terdahulu seperti al-Gazali, Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syaikh al-Bakhi al-Khauli, Muhammad
Abdullah Darraz serta Syaikh Mahmud Syaltut.
6
Ia juga sangat
menghayati pengajaran dan perjuangan gurunya (Hasan al-Banna).
Pada masa kekuasaan raja Faruq tahun 1949, Qadhawi
pernah dipenjarakan karena terlibat dalam pergerakan ikhwanul
muslimin, pada bulan April 1956 ia ditangkap dan yang terakhir
pada bulan Oktober 1956 ia dipenjarakan selama 2 tahun.
Selanjutnya pada tahun 1961 Qardhawi pergi ke Qatar dan
mendirikan madrasah Ma’had al-Diin yang kemudian
berkembang menjadi fakultas Syari’ah dan Universitas Qatar.
7
Selama karirnya, Qardhawi pernah memegang berbagai
jabatan penting, yakni:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Studi Islam di Universitas
Qatar.
2. Direktur Kajian Sunnah dan Sirah di Universitas Qatar.
3. Anggota Lembaga Tertinggi Dewan Fatwa dan Pengawasan
Syariah di Persatuan Bank Islam Internasional.
4. Pakar Fikih Islam di Organisasi Konferensi Islam .
5. Anggota/Pendiri Yayasan Kebajikan Islam Internasional.
5
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam j. 5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve
2005) h. 322
6
Abdurrahman, Op Cit h. 18.
7
Ahmad Junaidi, Jurnal al-Banjari Vol. 3 No. 6 Juli-Desember 2004
(Banjarmasin:Program Pascasarjana IAIN Antasari) hal. 31.
5
5
6. Anggota Majelis Pengembangan Dakwah Islamiyah di
Afrika.
8
Disamping itu, Qardhawi banyak sekali membuahkan
karangan yang berkualitas antara lain:
1. Fiqh al-Zakah.
2. Fqh al-Nisa.
3. Madkhal limakrifati al-Islam wa Muqawwimatuh.
4. Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam.
5. Bai al-Murabahah li al-Amir bi al-Syira.
6. Fawaid al-Bunuk Hiya al-Riba al-Muharram.
7. Al-Aql wa al-Ilmi fi al-Quran al-Karim.
8. Al-Fiqh al-Islamiy bain al-Asalah wa al-Tajdid.
9. Fatawa Muashirah.
10. Al-Ijtihad fi al-Syariat al-Islamiyah.
11. Al-Ijtihad al-Muashir baina al-Indhibath wa al-Imfirath
12. Malamih al-Mujtama al-Muslim alladzi Nunsyiduhu
13. Al-Sunnah Mashdaran li al-Makrifah wa al-Hadharah.
Pemikirannya di Bidang Fikih
Dalam bidang fikih, Qardhawi telah berhasil membuat
sebuah formulasi dalam pemberlakuan fikih, terutama ketika
dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer. Diantara
formula yang dibangunnya adalah mengenai perlunya dibangun
sebuah fikih baru (fiqh jadid) antara lain
9
:
1. Fiqh al-Muwazanah (fikih keseimbangan), yakni sebuah
metode yang dilakukan dalam mengambil keputusan
hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis
antara maslahat dan mafsadat, atau antara kebaikan dan
8
Ibid h 51
9
Cecep Taufikurrohman, Op.Cit.
6
6
keburukan. Menurutnya, sebuah kemudaratan kecil boleh
dilakukan untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih
besar, atau kerusakan temporer boleh dilakukan untuk
mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan
kerusakan besar pun dapat dipertahankan jika dengan
menghilangkannya akan menimbulkan kerusakan yang
lebih besar.
2. Fiqh Waqi’i (Fikih realitas), sebuah metode yang digunakan
untuk memahami realitas dan persoalan-persoalan yang
muncul di hadapan kita, sehingga kita dapat menerapkan
hukum sesuai tuntutan zaman.
3. Fiqh al-Aulawiyat (Fikih Prioritas), sebuah metode untuk
menyusun sebuah sistem dalam menilai sebuah pekerjaan,
mana yang seharusnya didahulukan atau diakhirkan. Salah
satunya adalah bagaimana mendahulukan ushul daripada
furu’, mendahulukan ikatan Islam dari ikatan lainnya, ilmu
pengetahuan sebelum beramal, kualitas daripada
kuantitas, agama daripada jiwa serta mendahulukan
tarbiyah sebelum berjihad.
4. Fiqh al-Maqashid al-Syari’ah, metode ini ditujukan
bagaimana memahami nash-nash syar’i yang juz’i dalam
konteks maqashid al-syari’ah dan mengikatkan sebuah
hukum dengan tujuan utama ditetapkannya hukum
tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh
manusia, baik dunia maupun akhirat.
5. Fiqh al-Taghyir (Fikih Perubahan), sebuah metode untuk
melakukan perubahan terhadap tatanan masyarakat yang
tidak Islami dan mendorong masyarakat untuk melakukan
perubahan.
7
7
Selain itu, kontribusi yang diberikan Qardhawi dalam
bidang fikih adalah bagaimana mencairkan kebekuan dan
kejumudan umat Islam dalam menghadapi perubahan zaman.
Menurutnya, salah satu penyebab kejumudan tersebut adalah
berhentinya kreatifitas umat dalam berijtihad yang merupakan
dapur utama bagi kemajuan mereka. Dari masa-ke masa
persoalan umat selalu berkembang baik dalam bidang sains dan
teknologi sedangkan jumlah ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi tetap
tak bertambah. Oleh karenanya diperlukan jalan ijtihad dalam
menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Metode Ijtihad Qardhawi.
Qardhawi menegaskan bahwa tidak sepantasnya bagi
seorang yang berilmu, yang dikaruniai berbagai fasilitas akal
pikiran yang bias digunakan untuk mentarjih, yaitu memilih-milih
pendapat yang lebih relevan dan real untuk dijalankan, terikat
dengan suatu madzhab tertentu, tetapi seharusnya ia wajib
berpegang kepada dalil dan hujjah yang kuat dan sahih untuk
menjadi pegangannya.
10
Seorang muslim yang baik adalah orang yang selalu
berpegang kepada dalil yang benar dan hujjah yang kuat sebagai
parameter untuk dipedomani guna mengetahui yang haq. Dan
tidaklah layak baginya mengikuti suatu pendapat hanya karena
kemasyhurannya dan banyak pengikutnya.
11
Menurut Qardhawi ada dua pola pikir yang harus
dijauhkan dari masyarakat, baik masyarakat awam maupun
10
Al Qardhawi, Fatawa Muasirah (Bairut:Dar al Fikr 1991) j.2 h.99
sebagaimana dikutip Rif’an Syafruddin, Ijtihad Kontemporer dalam
Persfektif Yusuf Al Qardhawi, Tesis IAIN Antasari 2004 h.32
11
Ibid
8
8
cendekiawan dan ulama. Pertama, berbagai pemahaman yang
merasuk kaum muslim di era penjajahan berupa
kesalahpahaman terhadap Islam, seperti memahami zuhud
dengan meninggalkan kehidupan dunia secara total, sehingga
dikuasai oleh orang-orang kafir, memahami keimanan terhadap
takdir sebagaimana yang dipahami oleh kaum jabariah,
memahami bahwa pintu ijtihad telah ditutup, akal berseberangan
dengan wahyu, menganggap perempuan sebagai perangkap
setan, memahami bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat digantung
untuk menjaga diri dari jin, berkah sunnah terletak pada
pembacaan Kitab Shahih Bukhari saat terjadi musibah,
memahami masalah wali dan karomah dengan pemahaman yang
bertentangan dengan sunnatullah, dan sebagainya. Masih
banyak lagi pemahaman lain yang menyebabkan kebekuan ilmu
dan pemikiran. Kedua, berbagai pemahaman yang menyerang
masyarakat bersamaan dengan serangan penjajah. Mereka
masuk dari pintu dan berjalan bersama rombongannya,
berlindung di belakangnya dan menjadikan mereka sebagai
kiblat dan imam.
12
Qardhawi menegaskan bahwa Ijtihad tidak
menghilangkan tradisi fikih klasik tetapi ijtihad mengandung
beberapa hal yang mendasar, yaitu :
1. Menafsir ulang tradisi fikih klasik yang melimpah ruah
melalui aliran, madzhab, dan pendapat-pendapat yang
shahih terutama dari kalangan sahabat dan tabi’in, kemudian
memilih mana yang lebih kuat serta sesuai dengan tujuan-12
Al Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syari’at Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak,
alih bahasa oleh Abdus Salam Masykur (Solo: Era Intermedia, 2003) Cet
ke 1 h.125-126
9
9
tujuan syariat serta kemaslahatan umat dalam kondisi yang
aktual.
2. Kembali kepada sumber, nash-nash yang shahih yang sesuai
dengan tujuan umum syariat.
3. Ijtihad untuk kasus-kasus dan masalah-masalah aktual yang
tidak ada hukumnya serta belum terungkap oleh para ahli
fikih terdahulu. Hal itu dilakukan untuk mengambil hukum
aktual
13
yang sesuai dengan dalil-dalil syara.
Menurut Qardhawi, ada dua bidang baru untuk ijtihad,
yakni yang pertama, bidang hubungan keuangan dan ekonomi.
Hal ini berhubungan dengan kegiatan perbankan, pertukaran
valuta, jaminan surat-surat berharga, deposito, dan lain
sebagainya. Yang kedua, bidang ilmu pengetahuan dan
kedokteran (medis), seperti masalah pencangkokan organ
tubuh, bolehkah organ tubuh itu diambil dari orang-orang non
muslim untuk diberikan kepada orang-orang muslim, bolehkah
donor darah dari orang non muslim untuk diberikan kepada
orang muslim, mencangkok organ tubuh binatang untuk
diberikan kepada manusia.
14
Mengenai peluang ulama untuk berijtihad saat ini
menurut Qardhawi adalah suatu keharusan dan hukumnya fardu
kifayah. Ada tiga macam ijtihad yang dikemukakan oleh
Qardhawi, yaitu ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad
integrasi antara ijtihad intiqa’i dan insya’i.
13
Qardhawi, Tafsir al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fadilah 1987) h. 8.
14
Al Qardhawi, Ijtihad Kontempore Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,
alih bahasa oleh Abu Barzani (Surabaya: Risalah Gusti 1995) Cet. Ke 1
h.7-12.
10
10
1. Ijtihad Intiqa’i/Tarjih
Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa’i adalah memilih
suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat
pada warisan fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan putusan
hukum.
15
Qardhawi tidak sependapat dengan orang-orang yang
mengatakan bahwa kita boleh berpegang pada pendapat dalam
bidang fikih (pemahaman) karena sikap itu merupakan taqlid
tanpa dibarengi argumentasi. Seharusnya diadakan studi
komparatif terhadap pendapat-pendapat itu dan meneliti kembali
dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan dasar
pendapat tersebut, sehingga pada akhirnya dapat diketahui dan
dipilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannya pun sesuai
dengan kaidah tarjih, seperti mempunyai relevansi dengan
kehidupan pada zaman sekarang, pendapat itu mencerminkan
kelemahlembutan dan kasih sayang kepada manusia, pendapat
itu mendekati kemudahan yang ditetapkan oleh hukum Islam,
pendapat itu lebih memprioritaskan realisasi maksud-maksud
syara, kemaslahatan manusia, dan menolak marabahaya.
16
Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli tarjih pada masa
kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan
tarjih pada masa kemunduran hukum Islam. Pada masa yang
disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang
tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para ahli fikih di
lingkungan intern madzhab tertentu, seperti syafi’iyah,
malikiyah, dll. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam, tarjih
15
Lihat, Ibid, h.15-24
16
Ibid, h.24-25
11
11
berarti menyeleksi berbagai pendapat dari bermacam madzhab,
baik beraliran sunni atau tidak. Jadi, sifatnya lintas madzhab.
17
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari
ijtihad tarjih ini. Sedikitnya menurut Qardhawi ada tiga hal,
yakni perubahan sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, dan adanya desakan dari perkembangan
zaman.
18
Contoh ijtihad tarjih adalah tentang harusnya meminta
izin untuk menikahkan anak gadis. Golongan Syafi’i, Maliki, dan
mayoritas golongan Hanbali berpendapat sehungguhnya orang
tua berhak memaksakan anak gadisnya yang sudah akil balig
untuk menikah dengan calon suami yang dipilih oleh orang tua
walaupun tanpa persetujuan gadis tersebut. Alasan yang
digunakan adalah orang tua lebih tahu tentang kemaslahatan
anak gadisnya.
Cara yang demikian itu mungkin masih dapat diterapkan
pada seorang gadis yang belum mengenal sedikitpun tentang
kondisi dan latar belakang suaminya, sedangkan di zaman
modern sekarang para gadis mempunyai kesempatan luas untuk
belajar, bekerja dan berinteraksi dengan lawan jenis dalam
kehidupan ini. Akhirnya, hasil dari ijtihad tarjih ini adalah
mengambil pendapat Abu Hanifah yakni melibatkan urusan
pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan
persetujuan dan izinnya.
19
Contoh lain dari ijtihad intiqa’i adalah tentang kekayaan
yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan al-amwal, yakni
17
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu
1997) cet ke-1, h.167-168
18
Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, Opcit, h 32-42
19
Ibid, h.34
12
12
segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk
memilikinya.
Menurut Ibnu Asyir, kekayaan pada mulanya adalah emas
dan perak tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi
sesuatu yang disimpan dan dimiliki.
Menurut madzhab Hanafi, kekayaan adalah segala yang
dapat dimiliki dan digunakan menurut kebiasan. Kekayaan dapat
disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat tersebut, seperti
tanah, binatang, barang-barang, perlengkapan dan uang.
Sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan tetapi mungkin dimiliki
seperti ikan di laut, binatang di hutan dan burung di udara
adalah termasuk kekayaan. Sebaliknya sesuatu yang dapat
dimanfaatkan tetapi tidak mungkin dimiliki seperti cahaya dan
panas matahari, tidak termasuk kekayaan., begitu juga sesuatu
yang secara nyata dapat dimiliki tetapi tidak dapat dimanfaatkan
seperti sebutir beras, segenggam tanah, setetes air dan
sebagainya.
Menurut madzhab Maliki, Syafii dan Hanbali, yang
dimaksud dengan kekayaan adalah termasuk segala manfaat
yang dapat dikuasai dengan cara menguasai tempat dan
sumbernya.
Ibnu Najim berpendapat bahwa kekayaan, sesuai dengan
yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fikih adalah sesuatu
yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan,
Setelah memperhatikan dan mempelajari berbagai
pendapat tadi, maka Qardhawi menyimpulkan bahwa yang
paling tepat adalah pendapat madzhab Hanafi. Alasannya adalah
pengertian tersebut lebih dekat pengertiannya dalam kamus-kamus Arab dan dapat diterapkan pengertiannya melalui nash-
13
13
nash tentang zakat.
20
Dengan demikian maka yang dimaksud
dengan kekayaan adalah sesuatu yang berwujud dan dapat
dimiliki, itulah yang dapat dibebani kewajiban untuk
mengeluarkan zakat.
2. Ijtihad Insya’i
Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah pengambilan
konkluse hukum dari suatu persoalan yang belum pernah
dikemukakan oleh ulama terdahulu. Atau cara seseorang
mujtahid kontemporer untuk memilih pendapat baru dalam
masalah itu, yang belum ditemukan didalam pendapat ulama
salaf. Boleh juga ketika para pakar fikih terdahulu berselisih
pendapat sehingga terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid
masa kini memunculkan pendapat ketiga.
21
Sebagian besar ijtihad insya’i ini terjadi pada masalah-masalah baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama
terdahulu serta belum pernah terjadi pada masa mereka.
Kalaupun mengenalnya, tentu masih dalam skala kecil yang
belum mendorong mereka untuk mengadakan penelitian demi
mencari penyelesaiannya.
Mengenai ijtihad insya’i ini, Qardhawi berpendapat bahwa
setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah
selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat
tersebut, kemudian menarik simpulan yang sesuai dengan nash
al-Quran dan Hadits, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyah
sambil berdoa semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak
menghalangi tabir pahala,dan menjaga dari belenggu fanatisme
20
Qardhawi, Hukum Zakat, alih bahasa oleh Salman Harun dkk (Jakarta:
Litera Antar Nusa 2006) Cet ke 9 h. 123-124
21
Qardhawi, Ijtihad Kontemporer h 43
14
14
dan taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk terhadap
orang lain.
22
Sebagai contoh ijtihad insya’i adalah para pakar fikih pada
zaman moderen ini berpendapat bahwa rumah, pabrik, tanah,
dan sebagainya yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya.
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, Abdul
Wahhab Khalaf dan Abdurrahman Hasan, Qardhawi sangat
mendukung pendapat tersebut dengan pembahasan yang
lengkap dengan dalil-dalil yang dipegangi.
23
Apabila pemilik tanah menyewakan tanahnya dengan
sewa berupa uang atau lain-lain yang menurut jumhur
hukumnya boleh, maka siapakah yang berkewajiban membayar
zakatnya, apakah pemilik tanah atau penyewa tanah?
Menurut Abu Hanifah, zakat wajib atas pemilik tanah.
Berdasarkan ketentuan bahwa zakat adalah kewajiban tanah
yang memproduksi, bukan kewajiban tanaman. Dan bahwa zakat
adalah beban tanah yang sama kedudukannya dengan kharaj.
Maka dalam hal sewa, tanah yang seharusnya diinvestasi dalam
bentuk pertanian lalu diinvestasi dalam bentuk sewa, berarti
sewa tersebut sama kedudukannya dengan hasil tanaman.
Demikian juga pendapat Ibrahim al-Nakha’i.
24
Malik, Syafii, al –Tsauri, Ibn al-Mubarak dan Jumhur
ulama Fikih berpendapat bahwa zakat wajib atas orang yang
menyewa, karena zakat adalah beban tanaman bukan beban
tanah. Pemilik tanah bukanlah penghasil biji-bijian dan buah-buahan yang karenanya tidak mungkin mengeluarkan zakat hasil
22
Qardhawi, Fikih Peradaban, Sunnah sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan,
alih bahasa oleh Faizah Firdaus.(Surabaya:Dunia Ilmu, 1997) cet I h. 56.
23
Qardhawi, Hukum Zakat h.376-379.
24
Ibid h.376.
15
15
tanaman yang bukan miliknya. Menurut Ibnu Rusyd perbedaan
pendapat disebabkan tidak ada kepastian apakah zakat tersebut
merupakan beban tanah, beban tanaman atau beban
keduanya.
25
Al-Mughni menilai bahwa pendapat Jumhur lebih kuat,
zakat diwajibkan atas hasil tanaman. Sedangkan Al-Rafii
berpendapat bahwa penyewa tanah mempunyai dua kewajiban
yakni membayar sewa dan membayar zakat.
Setelah mempelajari pendapat para ulama tersebut maka
Qardhawi mengemukakan pendapat bahwa yang adil adalah baik
penyewa maupun pemilik harus secara bersama-sama
menanggung zakat itu masing-masing sesuai dengan
perolehannya
26
Jadi pemilik tanah juga diwajibkan mengeluarkan zakat
dari hasil sewa, sedangkan pendapat tersebut belum pernah
dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu. Ijtihad yang demikian
disebut ijtihan insya’i. Pendapat tersebut sangat adil dan sangat
realistis diterapkan dizaman sekarang.
3. Integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i
Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad
perpaduan antara intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat
para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat
kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad
baru.
Sebagai contoh ijtihad jenis ini adalah masalah aborsi.
Lajnah Fatawa di Kuwait mengeluarkan pendapat tentang aborsi
25
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
1988/1408) cet ke 10.
26
Qardhawi, Op Cit, h. 377.
16
16
yang dibolehkan dan yang diharamkan. Lajnah Fatawa telah
menyeleksi pendapat-pendapat para pakar fikih Islam sekaligus
menambahkan unsur-unsur kreasi baru yang dituntut oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran. Yang
ditunjang dengan segala peralatan teknologi canggih dan
kemampuan untuk mendeteksi apa yang menimpa pada janin
dalam bulan-bulan pertama, berupa cacat yang mempunyai
pengaruh fisik/biologis dan psikis pada kehidupan si janin
dikemudian hari menurut sunnatullah yang berlaku di alam ini.
Isi Fatwa yang dikeluarkan tanggal 29 September 1984 itu
adalah seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan
seorang wanita yang telah genap 120 hari, kecuali untuk
menyelematkan wanita/ibu itu dari marabahaya yang
ditimbulkan oleh kandungannya. Dan seorang dokter boleh
menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan kedua
belah pihak yaitu suami istri, sebelum kandungan itu genap
berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah.
Apabila kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan belum
sampai 120 hari maka dalam keadaan seperti ini tidak boleh
dilakukan abortos kecuali dalam dua kondisi berikut ini:
a. Apabila kandungan itu tetap dipertahankan, akan
menimbulkan bahaya bagi sang ibu dan bahaya itu akan
berlangsung terus menerus sampai sehabis melahirkan.
b. Apabila sudah dapat dipastikan bahwa janin yang lahir
akan menderita cacat baik fisik atau akalnya, yang kedua
hal itu tidak mungkin dapat disembuhkan.
27
27
Qardhawi, Ijtihad Kontemporer Op Cit. h. 53-54.
17
17
Selanjutnya Qardhawi juga memberikan rambu-rambu
bahwa ada beberapa hal yang harus dihindari agar didalam
berijtihad tidak terjadi penyimpangan, yaitu :
1. Mengabaikan nash
Qardhawi mengingatkan bahwa yang sangat perlu
diperhatikan oleh seorang Mujtahid adalah kembali kepada
nash al-Qur’an, bila tidak ada dalam al-Qur’an maka
hendaklah berpedoman kepada al-Sunnah. Jika tidak
ditemukan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah barulah
berijtihad menurut pendapatnya dengan tidak
meremehkan kedua sumber tersebut.
28
Hal ini sesuai
dengan hadits yang diriwayatkan dari Muaz bin Jabal
ketika ia diutus oleh Nabi Saw ke Yaman.
2. Salah memahami nash atau menyimpang dari
konteksnya.
Menurut Qardhawi, kesalahan ijtihad kontemporer juga
bisa terjadi disebabkan kesalahan dalam pemahaman dan
keliru dalam menginterpretasikan nash tersebut, misalnya
nash yang bersifat umum dianggap khusus atau yang
muthlaq diperkirakan muqayyad atau sebaliknya. Atau
ketika memahami suatu nash dipisahkan dengan
konteksnya, atau dipisahkan dari nash-nash lain yang
menjelaskan isi dan maksudnya, atau terpisahkan dari
ijma yang kuat, atau lebih cenderung membenarkan
kenyataan yang ada, sehingga ijtihad yang dihasilkan
menyimpang dari tujuan syariat
29
.
3. Kontra terhadap ijma yang dikukuhkan.
28
Qardhawi, Ibid, h. 63
29
Ibid, h. 71
18
18
Yang dimaksud dengan ijma jenis ini adalah ijma yang
telah diyakini, yang telah menjadi ketetapan fikih dan ijma
itu telah diterapkan oleh semua umat Islam dan disepakati
oleh semua madzhab fikih dikalangan umat Islam
sepanjang masa. Ijma semacam ini biasanya tidak akan
timbul kecuali bersandar kepada nash.
30
4. Qiyas tidak pada tempatnya.
Menurut Qardhawi , kekeliruan dapat pula terjadi apabila
salah dalam menggunakan Qiyas (analogi), seperti
mengqiyaskan perkara yang bersifat taabbudi (ibadah)
kepada hal-hal yang bersifat adat istiadat dan muamalat,
atau salah dalam memandang hukum dan tujuan-tujuannya, atau salah dalam menetapkan illatnya, dan
sebagainya.
31
5. Kealpaan terhadap realitas zaman.
Qardhawi menegaskan bahwa terkadang manusia terbawa
hanyut dalam arus realitas yang ada sehingga mengikuti
aliran moderen sekalipun aliran tersebut bersifat asing dan
bertentangan dengan Islam. Agar dapat membenarkan
kenyataan yang ada, mereka berusaha untuk
membenarkannya dengan cara memberikan sandaran
hukum yang diambil dari Islam meskipun dengan cara
penyelewengan dan paksaan.
32
6. Berlebih-lebihan dalam mengungkapkan
kepentingan umum walaupun harus mengabaikan
nash.
30
alQaradhawi, Ibid, h. 81
31
Ibid, h. 87.
32
Ibid, h. 89.
19
19
Menurut Qardhawi, suatu kekeliruan juga dapat terjadi
ketika berdalih untuk kepentingan umum (mendapatkan
maslahat) tanpa memperhatikan nash. Karena pada
dasarnya setiap hukum syariat telah memenuhi
kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Dan
menurut para ahli fikih dalam menerapkan maslahat tidak
boleh bertentangan dengan nash yang bersifat qath’i.
33
Untuk mewujudkan ijtihad yang lurus, menurut Qardhawi
harus diperhatikan beberapa aturan dan ketentuan pokok untuk
ijtihad kontemporer:
1. Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan.
2. Tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang bersifat
qath’i.
3. Tidak boleh menjadikan yang zanni menjadi qath’i.
4. Menggabungkan antara fikih dan hadits, sekaligus
menghilangkan jurang pemisah antara fuqaha dan
muhadditsin.
5. Waspada agar tidak mudah tergelincir oleh tekanan realita.
6. Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat dengan
tidak menerima atau menolak hal-hal yang bersifat asing,
tetapi menyeleksinya lebih dahulu.
7. Tidak mengabaikan perkembangan zaman.
8. Melakukan transformasi dari ijtihad individu kepada ijtihad
kolektif.
9. Bersikap lapang dada terhadap kekeliruan mujtahid
34
33
Ibid, h. 94.
34
Ibid, h. 131-142.
20
20
Penutup
Qardhawi tidak mau terjebak kedalam dua kelompok yang
bertolak belakang dengan pendiriannya, yakni pertama,
kelompok yang ingin menjadikan Islam seperti “adonan roti”
yang lunak dan bisa dibentuk menurut selera, sehingga mereka
menetapkan hukum sesuka hati yang tidak sesuai dengan tujuan
umum syari’at. kedua adalah kelompok yang ingin menjadikan
Islam “beku seperti batu” yaitu orang yang taqlid buta terhadap
madzhab serta orang yang tidak terikat sama sekali dengan
madzhab yang disebut dengan “Zahiriyah versi baru”.
35
Qardhawi dalam melakukan ijtihad, memegang teguh
prinsip-prinsip dan kode etiknya. Diantaranya bahwa setiap dalil
nash adalah berlaku umum selama tidak ada petunjuk bahwa
dalil itu berlaku khusus, menghormati ijma ulama yang telah
dikukuhkan, memfungsikan analogi yang benar, dan
mempertimbangkan tujuan dan manfaat.
36
Dengan metode ijtihad yang diterapkannya, yakni berupa
ijtihad intiqa’i (tarjih), ijtihad insya’i (kreasi) dan perpaduan
antara keduanya, Qardhawi mampu menemukan hukum yang
tepat, sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan
tujuan syari’at. Ijtihad tarjih yang dilakukan oleh Qardhawi
bukan hanya menyeleksi pendapat madzhab yang beraliran
sunni, melainkan juga menyeleksi pendapat-pendapat yang
beraliran bukan sunni, atau bersifat lintas madzhab.
35
Ibid h. 45-46.
36
Qardhawi, Hukum Zakat, h. 20-29.
21
21
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam j. 5. 2005. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam Jakarta:
Logos Wacana Ilmu cet. I
Junaidi, Ahmad. 2004. Jurnal al-Banjari Vol. 3 No. 6 Juli-Desember 2004.Banjarmasin:Program Pascasarjana IAIN
Antasari.
Qadir, Abdurrahman. 1990. Studi Pembaharuan Hukum Islam,
Studi Pemikiran Yusuf Qardhawi tentang Zakat Profesi
Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.
Qaradhawi, Yusuf al. 1997. Fikih Peradaban, Sunnah sebagai
Paradigma Ilmu Pengetahuan, alih bahasa oleh Faizah
Firdaus. Surabaya:Dunia Ilmu cet I
---------. 1987. Tafsir al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fadilah.
---------. 1991. Fatawa Muasirah.Beirut:Dar al Fikr j.2.
---------. 1995. Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai
Penyimpangan, alih bahasa oleh Abu Barzani.Surabaya:
Risalah Gusti Cet I
---------. 2003. Masyarakat Berbasis Syari’at Islam, Akidah,
Ibadah, Akhlak, alih bahasa oleh Abdussalam Masykur
Solo: Era Intermedia Cet. ke 1 J. 1.
----------. 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam, Hukum,
Perekonomian. Perempuan, alih bahasa oleh Abdussalam
Masykur Solo: Era Intermedia Cet. ke 1 J. 2
.
-----------. 1994. Masalah-Masalah Islam Kontemporer, alih
bahasa Muhammad Ichsan, Jakarta: Najah Press cet. ke 1
Rusyd, Ibnu Rusyd. 1988/1408. Bidayatul Mujtahid, Beirut,
Lebanon: Dar al Kutub al Ilmiyah cet. ke 10.
22
22
Taufikurrohman, Cecep. Syaikh Qardhawi: Guru Umat Pada
Zamannya,http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=312,
tanggal 08 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar