Makalah Fiqih Munakahat
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam usaha
meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita
ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh
Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim
disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya
adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya
dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat
dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan
tersebut baik menurut hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi
Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka
mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi
Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis
perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas
perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan
antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Nikah
secara bahasa :
kumpulan, bersetubuh, akad.
secara syar’i :
dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan
hubungan seksual, dll .
Hukum Nikah
Para fuqaha
mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi
pelakunya :
Wajib, bila nafsu mendesak,
mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
Sunnah, bila nafsu
mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
Mubah, bila tak ada
alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang
mengharamkan menikah.
Makruh, bila nafsu
tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
Haram, bila nafsu
tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
A. TUJUAN DAN HIKMAH
NIKAH
Tujuan Nikah ditinjau
dari:
TUJUAN FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah
keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua
anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua
anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat
suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
TUJUAN PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah
keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua
anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua
anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua
anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan
identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
TUJUAN SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah
keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama
dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial
terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga
dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
TUJUAN DA’WAH
Yaitu bahwa sebuah
keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek
wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe
keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan
nonmuslim.
3. Setiap anggota
keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi
antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan
Islam tidak
mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan
hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan
maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh
kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai
kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai
kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata :
“Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan
membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk
menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah
berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian
mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya
puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim
dalam Kitab Shaum)
B. PEMINANGAN
(KHITBAH) SEBELUM PELAKSANAAN PERNIKAHAN
Definisi Peminangan.
Beberapa ahli Fiqih
berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili
mengatakan bahwa pinangan (khitbah¬) adalah pernyataan seorang lelaki kepada
seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada
perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara
langsung ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq,
dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk
mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan
ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan
pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin
mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan
perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu
pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani
berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak
perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian
seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa
pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah proses
permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua
orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian.
Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
Dasar dan Hukum
Pinangan
Dari Mughirah R.A.,
sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda
kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih
cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi)
Dari Abu Hurairah
R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki
kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari
kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?”
laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah
karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi
cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)
Memang terdapat dalam
al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun
tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan
melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan
kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena
itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang
mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd
dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan
adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang
menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang
dilakukan nabi dalam peminangan itu.
Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah
dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan
antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka
akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan
bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya.
Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal
demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan
ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap
saling menjaga, merawat dan melindungi.
Sebagai penguat
ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua
belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang
telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih
menguatkan ikatan perkawinan.
Macam-Macam
Peminangan
Ada beberapa macam
peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Secara langsung
yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin
dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya
berkeinginan untuk menikahimu.”
2. Secara tidak
langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau
dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan
maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang belum
kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan
ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau
tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun dengan
janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh
meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.
Hal-Hal yang
Berkaitan dengan Peminangan.
1. Norma Kedua Calon
Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah)
adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari
pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena
peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang
akibat telah saling mengetahui.
Oleh karena itu,
walaupun telah terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon
suami dan calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan
hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan.
2. Peminangan
Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.
Seluruh ulama
bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang telah dipinang
adalah haram. Ijma para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang datang
setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi
apabila:
• Perempuan itu
senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara jelas
(Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
• Pinangan kedua
datang tidak dengan izin pinangan pertama.
• Peminang pertama
belum membatalkan pinangan.
Hal ini sesuai dengan
hadis nabi yang berbunyi,” Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian saudara
kalian, dan janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali dengan
izinnya.”
Seluruh imam
bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal
tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain. Adapun
mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu
jawaban, beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan
terhadap seseorang yang sedang bingung dalam menentukan keputusan adalah makruh.
Hal ini bertentangan dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa
sesungguhnya perbuatan itu tidak haram. Pendapat ini berdasarkan peristiwa
Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga orang sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu
Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid. Hal itu terjadi setelah selesainya masa
iddah Fatimah yang telah ditalak oleh Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian,
pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan tata perilaku islam
yang mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang yang
sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada pemutusan
silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang
dipinang.
3. Orang-Orang yang
Boleh Dipinang.
Pada dasarnya,
seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya,
mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam
hal ini, ada syarat agar pinangan diperbolehkan.
• Bukan Orang-Orang
yang Dilarang Menikahinya.
• Bukan Orang-Orang
yang Telah Dipinang Orang Lain.
• Tidak Dalam Masa
‘Iddah
4. Batas-Batas yang
Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para
ulama terbagi menjadi empat bagian:
• Hanya muka dan
telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini
berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan
telapak tangan ada kesuburan badannya.
• Muka, telapak
tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
• Wajah, leher,
tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut
Hambali.
• Bagian-bagian yang
berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
• Keseluruh badan.
Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan
ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
5. Waktu dan Syarat
Melihat Pinangan
Imam Syafi’i
berpendapat bahwa seorang calon pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan untuk
melihat calon istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa
perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut
terjaga. Baik dengan izin atau tidak.
Imam Maliki dan Imam
Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat kebutuhan mendesak. Itu
disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan syahwat.
Wahbah Zuhaili
mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan tidak
dengan syahwat.
C. PELAKSANAAN
PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad
= membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita.
secara syar’i : Ikrar
seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara
walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama
membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh
ketenangan jiwa.
c) menyalurkan
syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan
keturunan yang sah dan shalih.
RUKUN DAN SYARAT SAH
NIKAH
Akad nikah tidak akan
sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab
(pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan
Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan
kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan
ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian,
disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul
adalah :
a) Diucapkan dengan
bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas
pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai
pria.
Syarat mempelai pria
adalah :
a) Muslim &
mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah
: 9.
b) Bukan mahrom dari
calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan
ibadah haji.
3. Adanya mempelai
wanita.
Syarat mempelai
wanita adalah :
a) Muslimah (atau
beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al
Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan
syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon
suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang
melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a) Muslim laki-laki
& mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang
melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan
wali adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki
sekandung
d) Saudara laki-laki
seayah
e) Anak laki-laki
dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki
dari saudara laki – laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki
dari paman sekandung
j) Anak laki-laki
dari paman seayah.
k) Hakim
5. Adanya saksi (2
orang pria).
Meskipun semua yang
hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam
mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar
pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah
a) Muslim laki-laki
& mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar
dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa
yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang
melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan
tentang mahar :
a) Mahar adalah
pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami
kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An
Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib
diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak
tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat
dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak
memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk
disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap
harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar
yang mudah dan pernah pula
DAFTAR PUSTAKA
- Dewantoro Sulaiman,
SE, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan, Solo, 2002
- Rasjid, Sulaiman,
H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
- Amir Syarifuddin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
- Al-Hamdani, Risalah
an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar