I.
PENDAHULUAN
Tatanan
kehidupan manusia yang diminasi kaum laki-laki atas perempuan sudah menjadi
akar sejarah yang cukup panjang. Dalam tatanan tersebut, perempuan dijadikan
sebagai the second human being (manusia kelas kedua),yang berada dibawah
laki-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap
yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. Dan berakibat, perempuan hanya di
tempatkan di ranah dalam saja, sedangkan laki-laki berada di ranah public.
Mereka
menggaggap bahwa poligami merupakan syariat dan di anjurkan dalam Islam.
Padahal poligami tidak di sunnahkan oleh Nabi SAW, untuk mengangkat derajat dan
martabat seorang wanita. Bukan untuk mengoleksi istri. Sebelum kedatangan Islam
poligami sudah ada dan dahulu kala Nabi Daud mempunyai istri 300 orang, dan
Nabi Sulaiman mempunyai istri 700 orang.[1]
Akan tetapi setelah Islam datang Nabi Muhammad SAW membatasi umatnya untuk
mempunyai istri empat dan selebihnya diceraikan.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
poligami
2.
Sejarah
poligami
3.
Pembatasan
boleh dan tidaknya berpoligami
4.
Problematika
poligami
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Poligami
Kata poligami,
secara etimologi berasal dari bahasa yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos
yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami
akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan
bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri dalam waktu yang
bersamaan.
Pengertian
poligami, menurut bahasa Indonesia, adalah sistem perkawinan yang salah satu
pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[2]
2.
Sejarah Poligami
Berabad-abad
sebelum Islam di wahyukan, masyarakat manusia di belahan dunia telah mengenal
dan mempraktekkan poligami. Poligami di praktekkan secara luas oleh Yunani,
Persia dan Mesir Kuno.[3] Di
Jazirah Arab sebelum Islam sudah mempraktekkan poligami, akan tetapi poligami
yang tidak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin
suku saat itu mempunyai puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku
memiliki istri sampai seratus.
Bahkan
didalam Injil Perjanjian Lama menceritakan bahwa Nabi Dawud mempunyai istri
tiga ratus orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai istri tujuh ratus orang istri.
Maka
dari itu setelah munculnya Islam para wanita mendapatkan perlakuan yang tidak
merendahkan martabat dan harga diri seorang wanita. Setelah turunnya Q.S.
an-Nisa’ : 3 Islam membatasi jumlah istri hanya empat itupun dengan ketentuan harus
adil. Bunyi dari QS. an-Nisa’ ayat3 :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/â‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya : “Dan
jika kamu khawatir tidak akan mampu Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Sementara
dalam hal pernikahan Rasulullah SAW dengan sembilan istri itu merupakan
kekhususan yang Allah berikan kepada Nabi SAW, karena kebutuhan dakwah ketika
hidup dan kebutuhan umat terhadap mereka setelah Nabi wafat.
Dan
oleh sebab itu Nabi SAW memerintahkan semua laki-laki yang mempunyai istri
lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya yang lain sehingga setiap
suami maksimal memiliki istri empat. Menurut Al-Aqqad (ulama asal Mesir)
menyimpulkan bahwa Islam tidak mengajarkan poligami, tidak juga memandang
positif apalagi mewajibkan, Islam hanya membolehkan dengan syarat yang sangat
ketat. Dalam prakteknya di masyarakat,
mayoritas umat Islam hanya berpangku pada diperbolehkannya berpoligami, akan
tetapi mengabaikan syarat yang ketat bagi diperbolehkannya itu.
Perkembangan
poligami dalam sejarah manusia mengikuti perkembangan pola pandang masyarakat
terhadap kaum perempuan. Pada masa dimana masyarakat kedudukan dan derajat
wanita itu hina, dan pada saat itu poligami menjadi subur, dan sebaliknya pada
masa masyarakat memandang kedudukan dan derajat wanita terhormat poligamipun
berkurang. Dengan demikian, perkembangan poligami mengalami pasang surut dan
mengikuti tinggi-rendahnya kedudukan derajat
seorang wanita.
Dan
ketika Islam datang, kebiasaan poligami tidak serta merta dihapuskan. Namun
setelah ayat tentang poligami diwahyukan, lalu Nabi SAW melakukan perubahan
yang sesuai dengan petunjuk ayat al-Qur’an yang turun. Perubahan yang dilakukan
oleh Nabi SAW menyangkut dua hal:
1)
Membatasi
jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Dalam sejumlah riwayat memaparkan
pembatasan poligami tersebut diantaranya yaitu dari Naufal ibn Muawiyah. Ia
berkata : “Ketika aku masuk islam, aku memiliki lima istri. Rasulullah berkata :”Ceraikanlah yang satu
dan pertahankanlah yang empat. Pada riwayat lain menyebutkan (Qais ibn
Tsabit) berkata: “Ketika masuk islam aku punya delapan istri. Aku
menyampaikan hal itu kepada Rasulullah dan beliau berkata : “pilihlah dari
mereka empat orang”. Riwayat yang lain dari Ghailan ibn Salamah Al-Tsaqafi
menjelaskan bahwa dirinya punya sepuluh istri, lali Rasulullah bersabda: “pilihlah
empat orang dan ceraikan yang lainnya”.[4]
2)
Menetapkan syarat yang ketat bagi poliigami, yaitu
harus mampu berlaku adil. Persyaratan yang diperuntukan bagi yang
diperbolehkannya berpoligami itu sangat berat, dan hampir-hampir dapat
dipastikan tidak ada yang dapat memenuhinya. Artinya, Islam memperketat syarat
poligami sedemikian rupa sehingga laki-laki tidak dapat lagi semena-mena
terhadap istri mereka. Dengan demikian terlihat bahwa poligami dimasa Islam
sangat berbeda dengan poligami sebelum islam. Perbedaan itu menonjol dalam dua
hal:
a)
Pada
bilangan istri dibatasi empat. Pembatasan istri pada masa itu sangat berat
karena laki-laki sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka di suruh untuk
memilih empat dan menyeraikan yang lain.
b)
Syarat poligami yaitu berlaku adil. Sebelumya, poligami tidak ada
syarat apa pun, termasuk yaitu syarat keadilan. Dan pada saat itu berakibat
poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum wanita, karena
pada saat itu laki-laki tidak terikat pada keharusan untuk berlaku adil,
sehingga mereka berbuat sesuka hati dan mengikuti nafsunya.
3.
Batasan Boleh dan Tidaknya Poligami
Pembolehan
poligami diberikan dengan pembatasan-pembatasan yang berat,
pembatasan-pembatasan itu terdapat dalam :
a.
Pembatasan
jumlah istri
Berpoligami
itu dibolehkan apabila mempunyai dua orang istri, atau menjadi tiga orang
istri, atau sebanyak-banyaknya menjadi empat orang istri. Tidak boleh lebih.
Akan tetapi sebagian golongan Syiah berpendapat bahwa maksimum beristri banyak
itu adalah dengan menjumlahkan angka dua tambah tiga tambah empat sehingga menjadi
sembilan orang. Padahal hal itu tidak dibenarkan.
Petunjuk pembatasan tersebut disimpulkan dalam
QS.An-Nisa:3 dan juga ditegaskan dengan sebuah hadits Rosul.
Rosul menyuruh Gailan bin Salamah al-Tsaqafy yang baru masuk Islam dulunya ia
seorang musyrik Mekah yang mempunyai istri sepuluh orang. Lalu Nabi menyuruhnya
untuk menceraikan istri-istrinya dan hanya meneruskan hubungan perkawinannya
dengan empat orang saja.
b.
Akan
sanggup adil antara istri-istrinya
Setiap
istri berhak mendapatkan hak-haknya dari suaminya berupa kemesraan hubungan
jiwa, nafkah, dan lain-lain, yang diwajibkan oleh Allah swt. Dalam hal ini
hendaklah tidak ada ketakutan atau kekhawatiran bahwa suami tidak sanggup adil
antara sesame istrinya itu. Kalau suami, dianggap mugkin tidak adil di antara
istri-istrinya itu nantinya, dia tidak boleh kawin lagi untuk yang kedua atau
seterusnya.
Firman Allah swt :
Artinya : “kalau kamu merasa khawatir akan tidak
berlaku adil, maka hendaklah kamu menikah dengan seorang saja”.
Dan Rasulullah saw
bersabda :
Artinya : “Barang siapa yang mempunyai dua istri, lalu ia cenderung kepada
salah seorang diantaranya dan tidak berlaku adil antara mereka bardua, maka
kelak di hari kiamat ia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir
jatuh sebelah” (H.R.Ahmad Ibn Hanbal).
c.
Jangan
ada hubungan saudara antara istri yang telah ada dengan calon istri yang akan
dikawini lagi.
Islam
menetapkan poligami untuk memelihara keluarga Muslim dan memelihara kaum wanita,
oleh sebab itu agama Isam melarang seorang laki-laki mengumpulkan dua orang
wanita yang kakak-beradik, atau ibu dan anaknya, atau seorang wanita dengan
saudara ayahnya atau dengan saudara ibunya. Itu semuanya adalah agar supaya
keluarga Muslim itu dapat memelihara berlangsungnya kasih-sayang di dalamnya,
dan mempersempit pengaruh perasaan cemburu agar tidak sampai melewati
wanita-wanita yang bermadu itu, dan supaya rasa cemburu itu terarah menjadi
perlombaan dan bukan menjadi alat silaturrohmi antara keluarga-keluarga yang
dekat dan jauh.
Sebagai
dasar peluasan ini dipergunakan alasan hadits Rosul. Rosul berkata: “Tidak boleh dinikahi seorang perempuan
bersama-sama dengan bibik atau mak tuanya”, diriwayatkan oleh Abu Dawud[5].
4.
Problematika Poligami
a.
Secara psikologis semua istri akan merasa
cemburu dan sakit hati bila melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain
karena didorong oleh rasa cinta setianya yang dalam kepada suaminya.
b.
Istri merasa imperior seolah-olah suaminya
berbuat demikian lantaran ia tidak mampu memenuhi kebutuhan biologisnya.
c.
Dalam poligami suami tidak diwajibkan untuk
berlaku adil dalam cinta, melainkan hanya dituntut pada hal-hal yang bersifat
materi, justru akan memperkeruh suasana.
d.
Timbulnya permusuhan atau pertentangan antara
istri yang satu dengan yang lain. Disebabkan oleh faktor kelemahan sikap suami
dan ketidak mampuannya menetapkan keadilan kepada istri-istrinya.
e.
Timbulnya pertengkaran kecil bisa menjadi
besar bahkan tidak jarang sampai terjadi saling membunuh antar istri-istri.[6]
IV.
. KESIMPULAN
Ø Poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki
istri lebih dari satu orang.
Ø Banyak problematika yang terjadi dalam poligami, diantaranya:
a)
Antara istri satu dengan yang lainnya saling
sakit hati dan cemburu ketika si suami bermesraan dengan istri lain.
b)
Timbulnya permusuhan atau pertentangan antar
istri-istri.
c)
Dalm poligami suami tidak diwajibkan berlaku
adil dalam cinta, melainkan hanya dituntut dalam materi justru akan memperkeruh
suasana.
Ø Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat daripada
manfaatnya.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami tulis. Kurang
lebihnya mohon maaf, kritik, kekurangan-kekurangan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi semua, baik kepada pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
● Makmun,M.Ag, Drs.H.A. Rodli dkk, Poligami dalam tafsir Muhammad Syahrur, Ponorogo : STAIN Ponorogo Press, 2009
·
Taufiq Al’Atthar,Dr.Abdul Nasir, POLIGAMI Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial,
Dan Perundang-Undangan, Jakarta : Bulan Bintang, 2010
·
Tihami,
Sohari Sahrani. Fiqih Munakahat.
Jakarta: Rajawali Pers, 2009
·
Yusuf al-Qardlawi, Sesungguhnya
Engkau Semulia Bidadari, Jogjakarta : Diva Press, 2006, hlm. 180
[1] Yusuf al-Qardlawi, Sesungguhnya Engkau Semulia
Bidadari, Jogjakarta : Diva Press, 2006, hlm. 180
[2] Tihami, sohari sahrani. Fiqih
Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. hlm 351
[3] Siti Musdah Mulia, Islam
Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pusat Utama,2007,hlm.45
[4] Ibid, hlm.46
[5] Taufiq al-atthar, Abdul nasir.
Polygami. Jakarta: Bulan Bintang, hlm 194-199
[6] Makmun rodhi, dkk. Poligami
dalam tafsir Muhammad syahrur. Ponorogo: STAIN ponorogo press. Hlm 49
media dewasa xx 18+ khusus film terbaru 2019
BalasHapusBokep Hollywood
Bokep Abg Mahasiswi
Bokep Pecah Perawan
Bokep Hindia
Bokep Porno xx Asia
Bokep Indo Terbaru
Bokep Tante Hoot
Bokep Gadis Manja