I.
PENDAHULUAN
Dalam pandangan islam perkawinan itu bukan hanya urusan perdata
semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan budaya, tetapi masalah dan
peristiwa agama. Oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah
Allah dan sunnah nabi SAW dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan
petujuk nabi.
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Syarat
itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap
unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak
merupakan kriteria dari unsur-unsur hukum.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan membahas mengenai rukun nikah. Rukun nikah
terdiri atas :
1.
Calon suami istri
2.
Wali
3.
Dua oarang saksi
4.
Akad nikah (ijab qabul)
III.
PEMBAHASAN
Dalam pandangan islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan
ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Dengan melihat kepada
hakekat perkawinan itu merupakan akad yang memperbolehkan laki-laki dan
perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat
dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Agar akad nikah dapat terlaksana, ada rukun dan syarat yang harus
dipenuhi. Rukun nikah adalah :
1.
Calon Suami Istri
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan
tidak boleh lain dari itu, seperti
sesama laki-laki atau sesama perempuan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi laki-laki yang akan kawin
adalah[1] :
a)
Bukan mahram dari calon istri
b)
Tidak terpaksa, tetapi atas kemauan sendiri
c)
Orangnya tertentu (jelas identitasnya dan dapat di bedakan dengan
yang lainnya, baik yang menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan dan hal
lainnya yang berkenaan dengan dirinya).
d)
Tidak sedang menjalankan ibadah ihram (haji).
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi perempuan yang akan
kawin adalah :
a)
Tidak ada halangan syari’ah, seperti bukan mahram, tidak iddah,
tidak bersuami.
b)
Merdeka, atas kemauan sendiri
c)
Jelas orangnya
d)
Tidak sedang menjalankan ibadah ihram (haji)
2.
Wali
Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan
seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditetapkan sebagai rukun
dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Dalam akad perkawinan itu
sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dan dapat pula sebagai oarng yang diminta persetujuannya untuk
kelangsungan perkawinan tersebut.
Adapun orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu ada
tiga kelompok[2]
:
1.
Wali nasab, yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan
perempuan yang akan kawin.
2.
Wali mu’thiq, yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan
bekas hamba sahaya yang dimerdekakan.
3.
Wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya
sebagai hakim atau penguasa.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari
nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak
menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama:
wali dekat (wali qarib), yaitu ayah
dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh
(wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga
selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a)
Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b)
Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c)
Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d)
Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e)
Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f)
Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g)
Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h)
Anak paman seayah,
i)
Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
Orang-orang
yang berhak menempati kedudukan wali itu harus memenuhi syarat sebagai berikut
:
a)
Sudah dewasa (baligh) dan
berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi
wali.
b)
Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
c)
Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk
muslim.
d)
Orang merdeka.
e)
Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. Alasanya ialah
bahwa orang yang berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan
sendirinya. Kedudukanya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
f)
Tidak sedang melakukan ihram.
g)
Berpikiran baik. Oarang yang terganggu pikiranya karena ketuaannya
tidak boleh menjadi wali, karena dikawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat
dalam perkawinan tersebut.
Jumhur ulama
mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih
ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang
lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya
yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qaarib. Bila wali qarib tersebut
tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan
adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.
3.Saksi
Akad pernikahan
harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk
menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Saksi dalam pernikahan
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[3] :
a) Saksi harus berjumlah paling kurang dua orang.
Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.
b) Kedua saksi itu beragama islam.
c) Kedua orang saksi adalah orang yang merdeka.
d) Kedua saksi itu adalah orang laki-laki.
e) Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak
pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap
menjaga muruah (sopan sntun).
f) Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
4.
Akad nikah
Akad nikah adalah
perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan
dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pertama, sedangkan
qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Ulama sepakat
menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad
perkawinan disyaratkan beberapa syarat.
Di antara syarat yang telah disepakati oleh ulama adalah sebagai beriku[4]t:
1) Akad harus dimulai dengan ijab dan
dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada
pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan: “saya nikahkan anak
saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-quran”. Qabul
adalah penerimaan dari pihak laki-laki. Seperti ucapan mempelai laki-laki:
“saya terima nikahnya anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab
Al-quran.
2)
Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si
perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
3)
Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus
walaupun sesaat.
4)
Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan ungkapan yang bersifat
membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk
selama hidup.
5)
Ijab dan qabul harus menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran
itu diperlukan niat, sedangkan saksi yang hadir dalam perkawinan itu tidak akan
dapat mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang.
IV.
KESIMPULAN
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Syarat
itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap
unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak
merupakan kriteria dari unsur-unsur hukum.
Dalam pandangan islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan
ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Dengan melihat kepada
hakekat perkawinan itu merupakan akad yang memperbolehkan laki-laki dan
perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat
dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Agar akad nikah dapat terlaksana, ada rukun dan syarat yang harus
dipenuhi. Rukun nikah adalah :
1.
Calon suami istri
2.
Wali
3.
Dua orang saksi
4.
Akad nikah
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan. Jika
ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami.
Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2009, cet.3
Qurroh, Abu, Pandangan Islam Terhadap Pernikahan Melalui
Internet, Jakarta : PT, Golden Terayon Press, 1997
Abu Bakar, Taqiyudin, Kifatul Akhyar, Surabaya: Darul Ilmi
[1] Qurroh, Abu, Pandangan
Islam Terhadap Pernikahan Melalui Internet, Jakarta : PT, Golden Terayon
Press, 1997
[2] Amir Syarifudin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2009, cet.3, hlm. 75
[3] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2009, cet.3, hlm. 83
[4] Ibid, hlm 62-63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar