BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang
memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi
masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi
societes ibi ius. Adagium ini muncul karena hukum ada karena adanya
masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan
antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki
sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia
adalah makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon).[1]
Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan
hukum (rechtsbetrekkingen).[2] Maka untuk itulah dalam mengatur
hubungan-hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum
yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan
mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut. Sekalipun
telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus
terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan
hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang
banyak dan berlaku secara umum.
Seiring perkembangan zaman permasalahan di bidang hukumpun semakin hari
semakin rumit dan kompleks. Khususnya lagi dalam hukum pidana yang
mencita-citakan lahirnya sebuah kodifikasi baru pengganti Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP saja) warisan
kolonial yang telah terlalu jauh tertinggal oleh zaman. Patut dicatat,
pembaharuan hukum pidana selalu menimbulkan pertentangan-pertentangan
pendapat yang tidak hanya terjadi antara para ahli hukum saja melainkan
juga melahirkan pertentangan di tengah masyarakat. Pertentangan yang
terjadi tidak hanya mencakup persolan pembaharuan hukum pidana (penal
reform) nasional yang berkaitan dengan aturan umum dan rumusan deliknya
namun juga mencakup kebijakan criminal (criminal policy) yang merupakan
persoalan yang tak kalah penting guna mencegah meluasnya
perkembangan/kecendrungan kejahatan (crime trend). Hukum pidana yang
domeinnya sebagai hukum publik membuat perkembangan hukum pidana selalu
menjadi sorotan di tengah masyarakat. Contoh kecil yang dapat kita lihat
ialah bagaimana respon masyarakat yang sangat antusias terhadap wacana
penegasan ancaman pidana mati terhadap terhadap para koruptor.
Menurut Hegel Negara ialah realitas “Roh” atau kesadaran, yang menjawab
pertentangan dalam masyarakat. Tanpa Negara pertentangan yang ada di
dalam masyarakat tidak dapat diselesaikan.[3] Maka menyikapi
permasalahan dan pertentangan yang terjadi di dalam pembaharuan hukum
pidana, Negaralah yang harus mengambil kebijakan guna mencegah terjadi
pertentangan yang semakin meluas yang bukannya mendatangkan solusi
melainkan melahirkan debat kusir yang tak bermakna.
Sebuah pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus
berlangsung dalam domein hukum pidana sebagaimana tersebut di atas ialah
mengenai keberadaan lembaga pidana mati baik dalam kedudukan sebagai
hukum positif maupun dalam upaya pembaharuan hukum pidana sebagai bagian
dari hukuman (pidana). Sebagaimana diketahui eksistensi lembaga pidana
pidana mati dituangkan dalam KUHP, yang secara terperinci menyatakan
sebagai berikut :
Pasal 10. Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok :
1. pidana mati,
2. pidana penjara,
3. kurungan,
4. denda.
b. Pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu,
2. perampasan barang-barang tertentu,
3. pengumuman putusan hakim. [4]
Berdasarkan uraian pasal 10 KUHP tersebut dapatlah diketahui bahwa
lembaga pidana mati merupakan salah satu hukuman yang masih jelas
keberadaannya sebagai bagian dari hukuman (pidana) yang dapat
dijatuhkan.
Pro dan kontra mengenai pidana mati bukanlah suatu pertentangan yang
baru timbul di tengah masyarakat luas dan para ahli hukum namun telah
terjadi semenjak dahulu dan sebagai bukti, persoalan ini pernah diangkat
oleh J.E.Sahetapy dalam skripsinya yang berjudul “Pidana Mati dalam
Negara Pancasila” (telah dipublikasikan dalam judul yang sama). Apakah
pidana mati hanya merupakan suatu alasan murah bagi penguasa Negara
sebagai alat penegak untuk mempertahankan tertib hukum dalam memberantas
penjahat-penjahat ulung dan berkaliber besar dengan ancaman maut, belum
termasuk daftar perghitungan terhadap orang-orang yang tak dapat
dikenakan baju penjahat karena mereka adalah seperti lazim diberi
julukan penjahat politik [5] merupakan salah satu alasan beliau untuk
mempermasalahkan pidana mati dalam tulisannya mengenai eksitensi pidana
mati di Negara Pancasila (baca Indonesia).
Selayaknya KUHP yang diberlakukan secara umum di keseluruhan wilayah
Republik Indonesia sejak tanggal 29 September 1958 (berdasarkan UU No.
73 Tahun 1958, LN Tahun 1958 No. 127), maka pidana mati beserta pidana
lainnya seperti yang termuat dalam pasal 10 KUHP juga berlaku secara
keseluruhan di wilayah Republik Indonesia (asas teritorialitas).
Sebelumnya KUHP juga diberlakukan di Indonesia namun didasarkan atas
hukum transitoir (pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945)
dan masih kental nuansa dualismenya. Unifikasi hukum pidana nasional ini
menimbulkan suatu kejanggalan karena sebagaimana diketahui KUHP yang
merupakan warisan kolonial (cerminan W.v.S. dari Belanda) tersebut masih
memberlakukan pidana mati sedangkan Belanda sebagai Negara kiblat KUHP
Nasional kita telah menghapuskan ancama pidana mati sebagai hukuman
(pidana) yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang dianggap bersalah
oleh pengadilan dalam Crimineel Wetboek nya (KUHP Belanda).
Memang tidak ada suatu keharusan untuk menerapkan hukum pidana di
Indonesia harus seutuhnya sama dengan Negara yang menjadi kiblat hukum
pidana nasional kita, namun karena pidana mati berkaitan dengan hak
hidup seseorang maka tentu menimbulkan pertentangan yang melahirkan pro
kontra atau silang pendapat antara para ahli hukum pidana yang sampai
pada saat ini belum jelas akhirnya. Wajar pertentangan tersebut muncul,
namun perlu sekali lagi digaris bawahi bahwa Negara tentu mempunyai
pertimbangan khusus memberlakukan pidana mati dalam hukum pidana kita
sebagaimana tertuang dalam pasal 10 huruf a angka 1 KUHP tersebut.
Simons dalam sebuah tulisannya pernah menyatakan, masalah adil-tidaknya
hukuman mati itu tidaklah dapat dipersoalkan, apabila sudah jelas bahwa
tanpa hukuman tersebut ketertiban hukum tidak dapat dipertahankan.[6]
Maka berdasarkan pendapat Simons tersebut jelas di sini bahwa
keberadaan lembaga pidana mati merupakan kebutuhan yang mutlak pada saat
itu, mengingat keberadaan Negara Indonesia yang belum stabil saat itu
dan bila dilihat dari segi adat istiadat di Indonesia, hukuman (pidana)
mati tidaklah bertentangan dengan adat istiadat dan hukum agama,
khususnya hukum pidana Islam yang juga mengenal adanya hukuman mati
(yang mana mayoritas Warga Negara Indonesia merupakan penganut agama
Islam).
Adapun pengaturan tentang pidana mati yang diatur dalam beberapa pasal
di KUHP yaitu pasal 104; pasal 111 ayat (2); pasal 124 ayat (1); pasal
124 bis; pasal 140 ayat (3); pasal 340; pasal 365 ayat (4); pasal 444;
pasal 479k ayat (2) dan pasal 479o ayat (2), sedangkan aturan di luar
KUHP yang mengatur tentang pidana mati antara lain terangkum dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (pasal 59 ayat
(2)); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika (pasal 80 ayat
(1) huruf a; pasal 80 ayat (2) huruf b; pasal 80 ayat (3) huruf a;
pasal 82 ayat (1) huruf a; pasal 82 ayat (2) huruf a; pasal 82 ayat (3)
huruf Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tahun 1999
& 2001), Undang-Undang Pengadilan HAM (tahun 2000) dan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (tahun 2003).
Penjatuhan pidana mati tersebut, tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan
orang melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary
crime), yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya
bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh
karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan
dari masyarakat atau pergaulan hidup[7] (baca dipidana mati). Salah satu
tokoh yang mendukung keberadaan lembaga pidana mati di negeri ini
ialah ialah R. Santoso Poedjosoebroto yang merupakan mantan wakil ketua
Mahkamah Agung, berpendapat pidana mati itu adalah merupakan senjata
pamungkas atau akhir dalam keadilan,[8] namun dalam penjatuhan pidana
mati haruslah diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak si
terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara yang patut dan
berprikemanusiaan.
Tidak dapat dipungkiri masih banyak ahli yang tak sependapat dengan hal
tersebut, namun keberadaan lembaga pidana mati haruslah dihargai dalam
kedudukannya sebagai suatu bagian dari hukum pidana positif Indonesia.
Selain Sahetapy, masih banyak ahli yang menentang atau kontra terhadap
eksistensi lembaga pidana mati (namun tidak sepenuhnya menentang konsep
pidana mati yang tertuang RKUHP) di Indonesia yang salah satunya adalah
Sudarto yang berpendapat :
Hilangnya nyawa berarti hilangnya manusia itu sendiri. Adakah alasan
yang cukup kuat untuk menghilangkan nyawa manusia itu sendiri ?
Kekeliruan dari pengadilan selalu dapat terjadi, dan kalau hal ini
terjadi dalam penjatuhan hukuman mati, maka tidak ada kemungkinan lain
sama sekali untuk memperbaiki. Manfaat dari pidana ini sangat
diragukan.[9]
Keberadaan pidana mati bukan hanya menjadi sebuah permasalahan yang
terjadi di Indonesia namun juga terjadi di banyak Negara lainnya. Hal
ini dapat dilihat dari pendapat Von Henting yang secara terang-terangan
menolak mengenai keberadaan lembaga pidana mati. Beliau berpendapat,
ada pengaruh yang kriminogen dari pada pidana mati ini terutama sekali
disebabkan karena Negara telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan
pidana mati tersebut sebenarnya Negaralah yang berkewajiban untuk
mempertahankan nyawa manusia, dalam keadaan yang bagaimanapun.[10]
Selain mengenai hilangnya hak untuk hidup seseorang, pidana mati juga
menimbulkan permasalahan lain yang tak kalah pelik dan juga memiliki
keterkaitan erat dengan ranah hak asasi manusia yaitu mengenai kapan
pelaksanaan eksekusi mati dilaksanakan. Peristiwa ini terjadi
dikarenakan di Indonesia tidak ada peraturan yang mengatur limit (batas)
waktu pelaksanaan eksekusi terhadap si terpidana. Hai inilah yang
mengakibatkan terjadinya suatu “kumulasi pidana”. Secara normatif,
kumulasi pidana ini tidak akan pernah didapati dasar hukum dan pengakuan
mengenai keberadaannya, namun di dalam prakteknya akan sering kali
diketumukan. Maka dapat penulis katakan bahwa penundaan eksekusi yang
terlalu lama menyebabkan terjadinya “kumulasi pidana” penjara dan pidana
mati terhadap si terpidana.
Bila di lihat secara riil memang hal tersebut di atas mempunyai sisi
positif bagi si terdakwa, namun bila secara cermat diamati akan terlihat
hal tersebut lebih banyak mendatangkan kerugian dari pada keuntungan
bagi si terdakwa. Contoh konkrit yang dapat kita lihat dari kasus Kusni
Kasdut dan Hengki Tupanawaei yang menunggu selama lebih kurang 25 tahun,
terlepas dari aspek yuridis sesungguhnya merupakan pemidanaan
tersendiri. Apalagi impliksai sosiologisnya : menunggu kematian selama
25 tahun.[11] Jelaslah di sini bahwa penundaan eksekusi pidana mati
merupakan suatu bentuk pengabaian terhadap penderitaan yang dialami oleh
si terpidana. Selain itu, dalam keberadaan terpidana mati di Lembaga
Pemasyarakatan menjelang pelaksanaan eksekusi yang tak jelas kapan
waktunya tersebut tentu memposisiskan si terdakwa selayaknya
narapidana, bahkan si terpidana mati dipastikan akan jauh lebih banyak
kehilangan hak-haknya di balik tembok tinggi tersebut dibandingkan
narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan dikarenakan sistem pengamanan
dan pengawasan yang jauh lebih ketat pasti akan diterapkan terhadapnya.
Analisis terhadap uraian di atas menunjukkan dengan jelas adanya
“pemerkosaan” hak asasi manusia yang terjadi terhadap hak-hak si
terpidana mati. Hipotesa tersebut muncul karena menurut Undang-Undang
Hak Asasi Manusia setiap orang diberikan hak untuk hidup tenteram, aman,
damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin[12]. Jaminan tersebut juga
merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak yang harus ada) terhadap
semua orang termaksud terpidana yang menjalani masa hukuman di Lembaga
Pemasyarakatan walaupun ada batasan tertentu yang dapat dilanggar.
Berdasarkan hal tersebut, timbullah pertanyaan, dapatkah jaminan
tersebut kita temui pada perasaan sanubari setiap terpidana mati yang
sampai sekarang gundah menunggu kapan maut dihadapakan padanya.
Kontradiksi yang sebagaimana tersebut di atas, memang juga terjadi pada
penerapan pidana mati, namun dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap uji materil keabsahan pidana mati yang diatur dalam UU No 22
Tahun 1997 tentang Narkotika yang memutuskan bahwa pidana mati tidaklah
bertentangan dengan UUD 1945 (uji materil dimohonkan oleh pelaku kasus
tindak pidana narkotika) jelas mementalkan penolakan terhadap keberadaan
lembaga pidana mati di Indonesia. Berbeda dengan kumulasi yang
disebutkan penulis di atas yang jelas-jelas memperkosa hak asasi si
terpidana mati karena tidak ada kepastian hukum yang menentukan kapan
regu tembak akan di hadapkan padanya yang sudah barang tentu merampas
rasa keadilan bagi si terpidana mati.
Mengutip apa yang dituliskan oleh Bung Karno, zaman akan menjadi hakim
dan zaman akan menentukan siapa yang benar.[13] Sungguh benar apa yang
dikatakan oleh Bung Karno dan menurut penulis saat (zaman) inilah bangsa
ini harus menjawab permasalahan “kumulasi pidana” tersebut. Dengan
membiarkan zaman berikutnya memutuskan dan menyelesaikan persoalan ini,
maka sama saja dengan membiarkan “pemerkosaan” hak asasi manusia terus
berlangsung di depan mata kita.
B. Masalah Pokok
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat ditetapkan masalah pokok dalam penelitian ini ialah :
Bagaimanakah Tujuan Pemidanaan Indonesia?
Bagaimana Pengaturan Tentang Pidana Penjara dan Pidana Mati ?
Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan Pemidanaan
Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan
dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan
penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification)
dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan
secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya,
hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta
pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya
sebagai roh.
Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana
sepakat bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan
(subjectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat
Hezewinkel-Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan
mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan
dan bahwa musuh tidaklah boleh dibenci.[14] Pendapat ini dapat
digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana para ahli yang
sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana
sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan.
Negativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai bentuk
penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan
penegakan hukum agama menganggap Negara adalah perpanjangan tangan Tuhan
di dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan
antara konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan
ajaran-ajaran agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap
menuju arah paham sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun hal
ini semakin hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak Negara
pada sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana
positif. Hal ini dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak
diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam hukum nasional kita
(faktor kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara lainya.
Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan hukum
dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan
tingkah laku manusia dan satu ketertiban paksaan kemasyarakatan.[15]
Kembali berbicara mengenai tujuan pemidanaan, bahwa pada prinsipnya
tujuan tersebut termaktub dalam berbagai teori pemidanaan yang lazim
dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua dan dari
penggabungan kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu teori pemidanaan
lainnya. Adapun tiga teori pemidanaan yang dijadikan alasan pembenar
penjatuhan pidana :
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),
2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien),
3. Teori gabungan (verenigingstheorien).
Ad 1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
Teori ini juga dikenal dengan teori mutlak ataupun teori imbalan dan
teori ini lahir pada akhir abad ke-18. Menurut teori-teori absolut ini,
setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana — tidak boleh tidak — tanpa
tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan
kejahatan.[16] Maka, pemberian pidana disini ditujukan sebagai bentuk
pembalasan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan.
Ada banyak filsuf dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori ini,
diantaranya ialah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, JJ Rousseau.
Dari banyak pendapat ahli tersebut penulis tertarik dengan pendapat yang
disampaikan Hegel mengenai argumennya terhadap hukuman bila
dikolerasikan dengan teori absolut. Dimana hukuman dipandang dari sisi
imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding.[17] Hal ini
memperlihatkan bahwa pembalasan (vergelding) diuraikan dengan nuansa
dialektika sebagaimana pola Hegel berfilsafat.
Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk pembalasan
yang diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan penjahat akibat
perbuatannya. Tujuan pemidanaan sebagai pembalasan pada umumnya dapat
menimbulkan rasa puas bagi orang, yang dengan jalan menjatuhkan pidana
yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan.[18]
Ad 2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).
Lahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk negasi
terhadap teori absolut (walaupun secara historis teori ini bukanlah
suatu bentuk penyempurnaan dari teori absolut) yang hanya menekankan
pada pembalasan dalam penjatuhan hukuman terhadap penjahat. Teori yang
juga dikenal dengan nama teori nisbi ini menjadikan dasar penjatuhan
hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga ditemukan manfaat dari
suatu penghukuman (nut van destraf).
Teori ini berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib
masyarakat yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan. Wujud
pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki, atau mebinasakan. Lalu
dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar
orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.[19]
Feurbach sebagai salah satu filsuf penaganut aliran ini berpendapat
pencegahan tidak usah dilakukan dengan siksasaan tetapi cukup dengan
memberikan peraturan yang sedemikian rupa sehingga bila orang setelah
membaca itu akan membatalkan niat jahatnya.[20] Selain dengan pemberian
ancaman hukuman, prevensi umum (general preventie) juga dilakukan dengan
cara penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman (eksekusi). Eksekusi
yang dimaksud dilangsungkan dengan cara-cara yang kejam agar khalayak
umum takut dan tidak melakukan hal yang serupa yang dilakukan oleh si
penjahat.
Seiring perkembangan zaman, apa yang menjadi substansi tujuan pemidanaan
sebagaimana yang terurai dalan prevensi umum menuai kritikan. Salah
satu kritikan yang paling mendasar dapat penulis perlihatkan berdasarkan
pendapat Dewey yang menyatakan :
Banyak pelaku kejahatan tidak mempertimbangkan hukuman. Terkadang karena
mereka mengalasakit jiwa ayau “feebleminded” — atau berbuat dibawah
tekanan emosi yang berat. Terkadang ancaman hukuman itu menjadikan
mereka seolah-olah dibujuk. Banyak tahanan yang mengemukakan reaksi
kejiwaaannya dikala proses dari pelanggaran undang-undang. Semua ini
memperlihatkan bahwa sesunggyhnya hanya sedikit yang mempertimbangkan
undang-undang penghukuman.[21]
Pada prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi si
penjahat agar ia tidak lagi mengulangi perbuatan yang dilakukannya. Van
Hamel dalam hal ini menunjukkan bahwa prevensi khusus dari suatu pidana
ialah :
1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah
penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat buruknya.
2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki si terpidana.
3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.
4. Tujuan satu-satunya pidana ialah mempertahnkan tertib hukum.[22]
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam teori relatif, negara dalam
kedudukannya sebagai pelindung masyarakat menekankan penegakkan hukum
dengan cara cara prenventif guna menegakkan tertib hukum dalam
masyarakat.
Ad 3. Teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan
teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib
hukum masyarakat. Dalam teori ini, unsur pembalasan maupun pertahanan
tertib hukum masyarakat tidaklah dapat diabaikan antara satu dengan yang
lainnya.
Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori
tersebut ke dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan menjadikan
tiga bentuk yaitu, teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan,
teori gabungan teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tertib
masyarakat, dan teori gabungan yangmemposisikan seimbang antara
pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat.
Menurut, Wirjono Prodjodikoro, bagi pembentuk undang-undang hukum
pidana, bagi para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu dari
ketiga macam teori hukum pidana tersebut dalam menunaikan tugas.[23]
Penulis dalam hal ini secara tegas menyatakan sepakat dengan apa yang
disampaikan Wirjono Prodjodikoro dikarenakan nilai-nilai keadilan
bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut melainkan berdasarkan
unsur humanis yang berkenaan dengan kondisi masyarakat dan si pembuat
(penjahat) yang diproses melalui perpaduan logika dan hati yang terlahir
dalam sebuah nurani.
B. Pidana Mati dan Pidana Penjara di Indonesia
Pidana mati dan pidana penjara merupakan bagian dari jenis-jenis pidana
yang berlaku berdasarkan hukum pidana positif Indonesia. Sebagaimana
diketahui kedua bentuk pidana tidaklah dapat dikumulasikan. Hanya saja
dalam tataran das sein hal ini sering terjadi terhadap terpidana mati.
Oleh karena keganjilan tersebut penulis akan mencoba menguraikan pidana
mati dan pidana penjara secara terpisah serta korelasi kedua jenis
pidana dalam permasalahan pidana mati guna mempermudah memahami hasil
penelitian penulis yang akan diuraikan pada bab berikutnya.
a. Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan jenis hukuman yang berdasarkan pelakasanaannya
mempunyai kemiripan pelaksanaan pidana kurungan. Hal ini dapat dilihat
dari pendapat Satochid Kartanegara yang menyatakan kedua bentuk hukuman
ini sama-sama dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan orang-orang
yang melanggar undang-undang. Hanya saja, pada pidana kurungan si
narapidana mempunyai beberapa hak istimewa yang tidak dipunyai oleh
narapidana hukuman penjara dan begitu juga sebaliknya. Adapun hak yang
tidak dimiliki oleh narapidana hukuman penjara ialah hak pistole,
sebaliknya narapidana pidana kurungan tidak berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat.
Berdasarkan sejarah, pelaksanaan pidana penjara sebagai bentuk hukuman
yang merampas kemerdekaan barulah dikenal pada awal abad ke-18. Pada
saat itu pidana pejara lahir sebagai pidana baru yang berbentuk
membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan
kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana
penjara bagi narapidana.[24] Indonesia sendiri mengenal pidana penjara
secara normatif sejak diberlakukan berdasarkan ordonantie10 Desember
1917 Staatsblad tahun 1917 No. 708 yang dikenal dengan
Gestichtenreglement[25] yang berinduk pada WvS.
Pada saat ini, pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan dan dan berbagai peraturan dibawahnya. Dalam hal itu,
pelaksanaan pidana penjara disesuaikan dengan fungi pokok Lembaga
Pemasyarakatan sebagai tempat narapidana dibina selama menjalani pidana
yang dijatuhkan padanya dan dalam hal ini narapidana juga dikategorikan
sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakata. Adapun fungsi pokok Lembaga
Pemasyarakatan yaitu membina serta mempersiapkan para narapidana supaya
dapat hidup bermasyarakat tanpa menggangu dan merugikan anggota
masyarakat yang lain.[26]
Berdasarkan pasal 12 ayat (1) KUHP, pidana penjara dibagi menjadi dua
yaitu seumur hidup dan selama waktu tertentu. Dilihat dari sudut
penjatuhan pidana dan juga sudut terpidana, pidana seumur hidup bersifat
pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu
yang pasti (a definite periode of time), yaitu menjalani pidana
sepanjang hidup di dunia ini[27]. Selain itu, pidana seumur hidup juga
dianggap sebagai bentuk hukuman yang berlebihan bagi beberapa ahli hukum
dan masyarakat pemerhati hak asasi manusia. Bahkan ada pendapat seorang
terpidana mati (Doris Ann Foster) di salah satu Negara bagian Amerika
Serikat yang secara frontal menolak pidana penjara seumur hidup. Ia
menyatakan, bahwa ia hanya mau mati atau dibebaskan (lebih baik mati
dari pada pidana seumur hidup. I want to die or to be free, katanya.[28]
Menurut penulis, apa yang disampaikan Foster sangatlah menarik untuk
dicermati, dikarenakan hampir sebagia besar terpidana mati memiliki
pandangan yang berbeda sengan Foster. Namun,
Pada pidana penjara selama waktu tertentu ukuran pemidanaan (strafmaat)
paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun
berturut-turut. Pidana penjara selama waktu tertentu dapat pula
dijatuhkan dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang
diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara
selama waktu tertentu atau apabila terdapat perbarengan (concursus),
pengulangan (recidive) ataupun ditentukan lain oleh aturan
perundang-undangan di luar KUHP.
Selain pidana penjara seumur hidup, bentuk pidana penjara selama waktu
tertentu berdasarkan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan
tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial
warga binaan pemasyarakatan yang telah melahirakan suatu sistem
pembinaan.[29]
Berdasarkan penjelasan di atas, timbullah kontradiksi yang mencolok
antara pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu
berdasarkan aspek tujuan pemidanaan. Dalam hal ini, Barda Nawawi arief
berpendapat :
Mengingat sifat/karakterisitik pidana seumur hidup yang demikian, maka
sebenarnya ada kontradiksi ide antara pidana seumur hidup dengan sistem
pemasyarakatan ini. Pidana penjara seumur hidup lebih berorientasi pad
aide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara
dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan
kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara denagn sistem
pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan
perbaikan (rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan kepada
masyarakat.[30]
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa ada ketidak singkronan pada sistem
pemasyarakatan dengan bentuk pidana seumur hidup. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya diadakan perbaikan-perbaikan pada pidana penjara sebagai
sarana penal yang paling “laris” untuk menghindari kekeliruan yang dapat
muncul di kemudian hari.
b. Pidana Mati
Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas
jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga
merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk
pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya
masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya
gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.[31]
Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif
baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman
kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan memperhatikan
jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu,
umpamanya :
a. mencuri dihukum potong tangan
b. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari
badan (sayab), kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya
ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.[32]
Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada
keterangan di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan
lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke
laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan dengan sistem alternatif
dimana apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka eksekusi bisa
dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya.
Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai
Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati dikenal oleh semua suku di
Indonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bahwa bukan Belanda lah
yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia
diberlakukan berdasarkan pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang
mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pada ketentuan ini, pidana mati
ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam
pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman
gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan
Staatsblad 1945 Nomor123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda,
pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat
dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun 1964, Lembaran Negara
1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun
1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak
mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala
Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan
eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian.
Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati
haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya
berkekuatan hukum tetap dan kepada si terpidana telah diberikan
kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi
dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie
(persetujuan Presiden).
Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya
dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat
dipergunakan terhadap orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan
lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara
sekalipun
Mengenai korelasi pidana penjara secara normatif tidak ada kaitanya sama
sekali, hanya saja pidana mati dipergunakan sebagai sarana bagi Negara
untuk merampas kemerdekaan terpidana menjelang dilaksanakan eksekusi
agar ia tidak melarikan diri. Berdasarkan hal tersebut, timbulah
permasalahan dimana sarana pidana penjara seolah dijatuhkan Negara
sebagai bentuk hukuman tambahan terhadap terpidana mati. Dikatakan
demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri kita pelaksanaan
eksekusi mati terhadap terpidana berlangsung dalam waktu yang relatif
lama. Maka di Negara ini seolah-olah sebagian besar terpidana mati
menjalani dua bentuk hukuman sekaligus, yaitu dengan diawali pidana
penjara terlebih dahulu, lalu barulah dilaksanakan pidana yang
sesungguhnya dijatuhkan padanya yaitu pidana mati.
Permasalahan ini menyebabkan semakin kompleksnya problematika pada
pidana mati. Kini topik pemberitaan seolah-olah bergeser menyangkut
problematika penundaan eksekusi pidana mati.[33] Oleh beberapa alasan
yang penulis sebutkan tersebutlah suatu pro dan kontra terhadap
eksistensi mengenai lembaga pidana mati.
C. Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah
menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di
Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat
ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya
selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati
dengan alasan yang logis dan rasional.
Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan
eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu
kebutuhan pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang
yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak
dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana
mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak
asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi
diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas
vonis yang dijatuhkan hakim
Selanjutnya, penulis akan menguraikan berbagai -alasan dan para ahli
yang pro (mendukung) maupun kontra terhadap pidana mati, serta pandangan
penulis mengenai eksistensi lembaga pidana mati. Adapun beberapa ahli
maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana mati ialah Jonkers,
Lambroso, Garofalo, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, Barda Namawi Arief,
Oemar Senoadji, dan T.B Simatupang.
Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana
tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah
alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat
diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan
alasan-alasan yang benar.”[34]
Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu
adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan
individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.[35] Individu itu
tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa
serius (extraordinary crime)
Pada kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu
bentuk hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama
dalam hal transisi kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat.
Penulis bergumen seperti itu didasarkan pendapat Suringa yang
menyatakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang
pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat mempergunakanya.[36]
Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana
nasional Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya
menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks
pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui
pendapatnya yang menyatakan : “bahwa walaupun dipertahankan pidana mati
terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih
menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun
dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan
berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak
pidana).[37]
Hal yang disampaikan Barda ini hampir senada dengan apa yang pernah
disampaikan oleh seorang jenderal purnawirawan dan tokoh gereja di
Indonesia yang pada dasarnya sepakat apabila lembaga pidana mati
dihapuskan keberadaannya di Indonesia, namun dengan pertimbangan lain ia
juga secara tegas menyatakan pidana mati masih harus dipertahnkan
dikarenakan hukuman tersebut adalah alat untuk menjaga ketentraman
masyarakat. Hukuman mati harus dibicarakan dari segi kepentingan
masyarakat.[38]
Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum
pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan
membantah hipotesa yang meragukan efektivitas pidana mati melalui
penndapatnya yang menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan
mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan sangat hipotetical. Kurang
bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi.
Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan
bahwa pidana mati itu tidak efektif.[39]
Berdasarkan pendapat Andi Hamzah dan A. Sumangelipu dinyatakan secara
tegas pidana mati sama sekali tidaklah bertentangan dengan Pancasila.
Hal ini tergambar dari bab empat (Pidana Mati dalam Pancasila) buku
mereka yang berjudul “Pidana mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan
Masa Depan” yang menggambarkan secara terperinci bahwa tidakaada di
antara keseluruhan sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan
keberadaan pidana mati di negra Indonesia.
Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya
telah terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan
Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat terpidana
mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan
inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati
pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah
bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditrik sebuah
kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.
Untuk memperkuat argumen di atas, maka alangkah baiknya penulis
memperkuatnya dengan menyajikan bunyi dari Konklusi dari Putusan
Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan tersebut, yang menyatakan :
Ketentuan Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf (a), Ayat (3) huruf
a; Pasal 81 Ayat (3) huruf (a); Pasal 82 Ayat (1) huruf a, Ayat 2
(huruf) a dan Ayat (3) huruf a dalam UU Narkotika, sepanjang yang
mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentatangan dengan Pasal 28A dan
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.[40]
Berdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa
pidana mati tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan
masih layak dipertahankan keberadaannyanya dalam hukum pidana positif.
Hanya saja berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang
berkaitan dengan pidana mati hendaknya untuk ke depan memperhatikan
sungguh-sungguh hal sebagai berikut :
a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama
sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah
dengan penjara seumur hidup atau selama 20 puluh tahun;
c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang
sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuanhamil tersebut melahirkan dan
terpidana mati yang sakit jiwa tersebut sembuh.[41]
Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para
pendukung pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan
pidana mati sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara
baik dalam bentuk preventif maupun represif. Represif di sini bukanlah
menjadikan mereka yang diperintah menjadi rentan dan lemah[42] layaknya
kekuasaan otoriter yang menjadikan pidana mati sebagai alat untuk
menyingkirkan orang-orang yang bersebrangan dengan penguasa. Selain itu,
dalam perumusan KUHP Nasional yang baru, dalam hal pidana mati haruslah
memperhatikan buni putusan di atas.
Demikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana
mati pun tidaklah sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah
landasan berpikir yang ilmiah. Seorang tokoh aliran klasik yang sangat
terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah seorang
berkebangsaan Italia yang bernama Beccaria. Alasan Beccaria menentang
pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk
sekali[43] terhadap seseorang yang dituduh membunuh anaknya sendiri
(beberapa waktu setelah eksekusi dapat dibuktikan bahwa putusan tersebut
salah).
Setelah keharuman nama Beccaria tenggelam, maka muncullah nama-nama
tokoh dan ahli yang menentang pidana mati. Adapun nama-nama tersebut
adalah Ferri, Leo Polak, Modderman dan tokoh lainnya, sedangkan di
Indonesia tokoh yang sanat vokal menentang pidana mati ialah Roeslan
Saleh, J.E. Sahetapy, dan Todung Mulia Lubis yang semenjak muda telah
terang-terangan menolak keberadaan pidana mati sedari muda (serta tokoh
dan ahli lainnya yang tidak penulis sebutkan secara satu persatu).
Ferri yang juga seorang berkbangsaan Italia dalam hal menentang pidana
mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi
untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu
dengan pidana mati.[44]
Apa yang disampaikan Ferri tidak jauh berbeda dengan yang diampaikan
krminolog Oxvord, Roger Hood yang menggunakan anaalisis efek jera pidana
mati dan penjara seumur hidup. Adapun pendapatnya adalah gegabah bila
kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan
efek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh hukuman
yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.[45]
Menurut penulis jelas pendapat Ferri maupun Roger Hood bertentatangan
dengan apa yang telah disampaikan Foster (terpidana mati) yang lebih
memilih mati dibandingkan dipidana penjara seumur hidupnya. Jelas, hal
ini melahirkan kontradiksi sikap batin yang sangat mencolok yang menurut
penulis melahirkan pendapat yang apriori dikarenakan sikap batin pada
setiap orang adalah relatif.
Pendapat lainya yang disampaikan oleh Modderman menggunakan analogi dalam menolak adanya pidana mati :
Tokh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang di mana
dikumpulkan binatang-binatang buas, yang juga tidaklah mustahil dapat
meloloskan diri dari kekurangan-kekurangannya dan mengacau keamanan
masyarakat. Saya akan lebih takut andaikata tiba-tiba kepergok dengan
binatang buas demikian, daripada kepergok denagn penjahat penjahat yang
dimaksudkan di atas.[46]
Pendapat ini sungguh kontras dengan yang terjadi di Indonesia,
dikarenakan beberapa tahun setelah pendapat Modderman disepakati
mengenai penghapusan pidana mati, di Indonesia malah diberlakukan pidana
mati. Berdasarkan perbandingan hukum pidana dapat kita simak pendapat
Andi Hamzah, sebagaimana terurai berikut :
Di dalam KUHP Indonesia tercantum pidana mati, sedangklan di Belanda
sejak tahun 1870 sudah dihapus. Alasannya, ialah keadaan di Indonesia
berbeda dengan Belanda, ribuan pulau-pulau, beraneka ragam suku bangsa,
tenaga kepolisian kurang mencukupi, jadi perlu pidana yang lebih berat.
Dengan sendirinyap pasal-pasal yang berkaitan dengan pidana mati seperti
pasal 6 dan pasal 11 (pelaksanaan pidana mati) terdapat dalam WvSI
(KUHP) tetapi tentu tidak ada dalam Ned. WvS.[47]
Secara historis dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa ketidak
konsistenan Belanda dalam penolakan terhadap pidana mati sesungguhnya
didasakan pada konsep tirani untuk mempertahankan kekuasaan di negeri
jajahan Indonesia.
Sebuah kisah yag menarik dalam kontroversi pidana mati dapat juga kita
rasakan dari rasa pertobatan seorang terpidana mati. Hal ini dapat
penulis perlihatkan melalui penggalan surat dari seorang terpidana mati
tertanggal 3 februari 1967 berikut ini :
Dear Rev. Khoo. So forgive me for this. My farewell letter being so
brief, and I fear incoherent. Do you remember the day you first saw me
here, how I kept repeating to you ‘I am an atheist’ almost with pride ?
But as I watched you come here so often, spending so much of your time
and giving so much yourself to the Pulau Senang boys and the rest of us,
expecting and receiving nothing in return, I asked myself, “What is the
motivates this man such altruistic acts ? Is there really a God as he
so undoubtedly believes ?” But one day – 17th of December 1965 –
apparent reason I was over whwlmed by desire to kneel down in prayer and
pour out my heart to God, surrendering my self to him and admitting to
Him that revenge was in my heart. He listen and understood and as I got
to know Him better trought the succeeding days and weeks, He told me
that I should be above revenge and hate, that only love and
understanding should occupy my thoughts and guide my action. Thro yoi I
found Christ and thro him I shall find the kingdom of heaven. Till then,
fare thee well. Yours in Christ, Sd. Sunny Ang.[48]
Secara jujur penulis sangat tersentuh dengan penggalan surat ini, namun
patut diketahui Tuhan juga menciptakan suatu hukuman bagi umatnya yang
berbuat salah dan begitu jugalah hal ini terjadi dalam realitas
kehidupan bernegara. Bila dibedah melalui pisau religius, sebenarnya
keberadaan pidana mati di sini membawa sebuah anugerah kepada Ang,
dengan hukuman tersebut mengenal Tuhan secara lebih dalam terlepaskan
dari belenggu ateisme.
Berkaitan dengan keberadaan pidana mati dalam korelasinya dengan
Pancasila, Sahetapy memiliki pendapat yang berbeda dengan Andi Hamzah
dan A. Sumangelipu. Sahetapy dalam skripsinya (telah dipublikasikan)
menjelaskan[49] bahwa pidana mati bertentangan dengan norma dasar Negara
ini yaitu Pancasila. Hal ini disandarkan pada pasal 95 ayat (2),
walaupun pada saat itu telah didekritkan kembali pada UUD 1945 (namun
patut diketahui bahwa UUDS juga dlahirkan dari Pancasila). Selain
bersandarkan alasan tersebut, Sahetapy juga menyatakan bahwa pidana mati
merupan warisan kolonial yang tidaklah pantas untuk dilanjutkan
(sebagaimana diterangkan di atas).
Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah
bertentangan dengan konstitusi terdapat empat pendapat berbeda
(dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah
Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi,
Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar
Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim
Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :
Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan
hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri,
meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang
harus pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena hukum
membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai
oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya
dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani
pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.
Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada
konsep hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan
terhadap pidana mati dewasa ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati
ditekankan atas pelaksanaan eksekusi yang kejam dan efektivitas pidana
mati tersebut).
Maka jelaslah, permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati
merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan
dalam satu pola pikir yang sama pada setiap orang.
Kontroversi penolakan (kontra) terhadap eksistensi lembaga pidana mati
membawa sebuah ekses yang sangat luar biasa dahsyatnya, dimana banyak
Negara yang menghapuskan jenis pidana ini pada hukum pidana positif
negaranya. Berdasarkan data Amnesty International (2006) menyebutkan
bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan pidana mati
(death penalty) dari ketentuan hukum pidana positifnya. Dari data
tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara
memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di
waktu perang (war time), dan 30 negara masih mempertahankannya dalam
hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik.
Menurut Roeslan Saleh beberapa Negara yang tidak lagi mengancamkan pidana mati pada KUHP nasionalnya ialah :
Portugal tahun 1846, Negara Bagian di Amerika Serikat tahun 1847, di San
Marino tahun 1848, di Venezuela tahun 1649, di Rhode Island (USA) tahun
1852, di Wiscounsin tahun 1853, di Toskane tahun 1859, Columbia dan
Rumania tahun 1864, di Netherland tahun 1870, di Costa Rica tahun 1880.
di Maine tahun 1887, di Italia tahun 1890, di Brazilia tahun 1891, di
Equador dan Peru tahun tahun 1895, di Norwegia tahun 1902, Rusia tahun
1903, (sekarang pidana mati berlaku di Uni Soviet), di Austria tahun
1918, di Swedia tahun 1921, Lituania 1922, di New Zeland tahun 1925, di
Uruguay tahun 1926, di Chili tahun 1930 dan Denmark tahun 1993. Tetapi
ada di antara yang tersebut di atas yang memberlakukan lagi pidana mati
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.[50]
Sebagai contoh Negara Belanda yang menghapuskan pidana mati pada
ketentuan hukum pidananya masih mencantumkan pidana mati pada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Militer Negara tersebut. Hanya saja
penjatuhan hukuman tersebut hanya dapat dilakukan, apabila hakim
berpendapat bahwa keamanan dari negara itu menghendakinya demikian
(pasal 9).[51] Selain itu, Negara tetangganya Belgia mencantumkan pidana
mati di dalam KUHP sipilnya, diamana ketentuan tersebut tidak pernah
lagi dilaksanakan lagi dalam prakteknya.
Sementara itu, masih ada 68 negara yang sampai kini masih konsisten
mempertahnkan pidana mati pada ketentuan hukum pidana nasionalnya.
Dimana Indonesia adalah salah satu dari negara tersebut.
Untuk menutup bab ini, penulis akan menguraikan pendapat pribadi
mengenai pidana mati. Pada dasarnya, penulis tidaklah sepakat dengan
keberadaan pidana mati dalam konteks hukum pidana nasional ataupun
secara global, namun secara rasional dengan memperhatikan kebutuhan pada
saat ini maupun ke depan, penulis menyadari pidana mati masih
dibutuhkan sebagai suatu alat untuk melindungi masyarakat. Perlunya
pidana mati dipertahankan menurut penulis berdasarkan tiga alasan.
Pertama, masalah keadilan dan kepastian hukum. Apabila pidana mati
dihapuskan dan kemudian diadakan kembali dengan mengenyampingkan asas
non retroaktif, lebih patut dipertanyakan dimana keadilan yang
seharusnya menjadi satu dalam bentuk kepastian hukum. Ini dikarenakan
suatu keadaan ke depan tidaklah dapat diprediksi dan ditafsirkan secara
mutlak dengan mengadakan pengandaian-pengandaian yang apriori. Maka,
lebih baik pidana mati tetap dipertahankan dengan catatan hanya
ditujukan kepada pelaku kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary
crime).
Kedua, masalah kebudayaan. Tidaklah dapat disangkal bahwa Negara kita
yang multi cultural ini mengenal pidana mati dalam berbagai peraturan
adat semenjak zaman kerajaan dahulu (sebelum terbentuknya Negara
Indonesia). Untuk memperkuat pendapat ini, maka penulis menyandarkannya
pada pendapat Von Savigny yang menyatakan hukum adalah bagian dari
budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas
(arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan
dalam jiwa masyarakat.
Ketiga, unsur religius. Memperhatikan norma dasar Negara kita yang
memperlihatkan bahwa bangsa ini ialah bangsa yang cinta dan takut akan
Tuhan yang berarti tidaklah dapat kita sangkal secara religius, agama
mengakui hukuman sebagai akibat dari sebuah tingkah laku yang jahat.
Sebagai contoh, Islam mengenal hukuman mati (qishas) sebagai bentuk
hukuman terhadap jarimah yang mutlak telah digariskan oleh ALLAH dan
hanya dapat hapus apabila keluarga korban memberi maaf dan barulah dapat
diberlakukansemacam ganti rugi (diyat).
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, penulis beranggapan bahwa
nilai-nilai humanis yang berlebihanlah yang sebenarnya menyeret kita
dalam penolakan terhadap pidana mati. Jika sebelum pidana tersebut
dilaksanakan diberikan kesempatan terlebih dahulu kepada si terpidana
untuk berertobat dan eksekusi pun dilakukan dengan cara meringankan
penderitaan-penderitaan fisik yang berlebihan, maka tidaklah beralasan
untuk menolak pidana mati sebagai suatu sarana perlindungan rakyat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah
menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di
Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat
ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya
selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati
dengan alasan yang logis dan rasional.
Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas
jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga
merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk
pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya
masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya
gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar